Pocut Baren seorang wanita bangsawan yang lahir di Tungkop. la adalah putri Teuku Cut Amat, seorang Uleebalang Tungkop yang sangat berpengaruh, terpandang berwatak keras dan pantang menyerah. Daerah keulebalangan Tungkop
merupakan bagian dari daerah federasi Kaway XII yang letaknya berada di Pantai Barat Aceh, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Aceh barat.
Sebagaimana lazimnya setiap anak perempuan Aceh, Pocut Baren dididik dengan pelajaran agama Islam. Pendidikan agama ini di bawah asuhan ulama-ulama yang didatangkan ke tempatnya seperti yang banyak dilakukan oleh keluarga
uleebalang lainnya. Dan hasil pendidikan agama yang diperolehnya selama bertahun-tahun di meunasah, rangkang dan dayah itulah tertanam dalam jiwanya satu kepribadian tertentu yang berakar dalam dan teguh. Sesuai dengan ajaran yang diyakininya, Pocut Baren sanggup berkorban apa saja, baik harta benda, kedudukan maupun nyawanya, demi tegaknya kepentingan agama dan bangsa keyakinan serupa itu ia buktikan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. la dengan rela meninggalkan kesenangan dan kemewahan.
Selain pendidikan agama yang kental, situasi politik dan peperangan yang berkepanjangan di Aceh Barat telah membentuk sikap dan watak Pocut Baren semakin dewasa. Pada saat wanita itu menginjak , usia dewasa, sebagian Aceh Barat telah dikuasai oleh Belanda. Maka tidak mengherankan jika ia tumbuh menjadi seorang wanita yang taat beribadah dan patuh menjalankan syariah Islam, serta menjadi pejuang yang tangguh melawan Belanda.
Setelah dewasa, Pocut Baren dinikahkan dengan seorang Keujruen yang menjadi Uleebalang Gume. Suaminya itu juga seorang pejuang yang memimpin perlawanan di Kawasan Woyla. (Zentgraaff, 1982/1983 : 237; Doup, 1940 : 204).
Daerah yang menjadi federasi Kaway XII ini, di samping daerah Tungkop, juga darah-daerah lain, seperti daerah Pameue, Geumpang, Tangse, Anoe dan Gume. Adapun wilayah Tungkop terletak di kawasan Hulu Sungai Woyla. (Zentgraaff;
1982/1983 : 137). Oleh Pemerintah Belanda, pada tahun 1922 Keuleebalangan Tungkop dimasukkan ke dalam Onderafdelling Meulaboh, bersama-sama daerah lainnya, seperti Bubon, Lhokbubon, Kaway XVI (Meulaboh), Seuneuam, Betong dan Pameue. Daerah-daerah ini menjadi daerah swapraja yang dalam istilah Belandanya disebut Zelfbesturen. Daerah ini oleh pemerintah Belanda diakui sebagai daerah zelfbesturen menurut peraturan organisasi pemerintah sebagaimana diatur dalam Stablad 1922 Nomor 451. (Hassan, 1980: 194).
Walaupun kedudukannya masih berada di bawah payung Kerajaan Aceh Darussalam, Federasi Kaway XII ini telah mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (hak otonom). Kaway XII dan daerah sepanjang Krueng Woyla merupakan daerah
yang banyak menghasilkan emas. Dengan kekayaan emasnya yang melimpah tersebut, telah mendorong orang-orang dari Minangkabau berdatangan untuk menambang daerah penghasil emas tersebut. Orang-orang Minangkabau yang bermukim di daerah Kaway XII dan sepanjang Krueng Woyla, setelah bercampur baur dengan masyarakat Aceh, keturunannya dikenal dengan nama masyarakat Aneuk Jamee. Kaway XII merupakan daerah tambang emas di dalam wilayah Kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Keujruen yang disebut Keujreun Meuih. Keujreun Meuih mempunyai tugas mengambil hasil emas dan pajak-pajak lainnya dari pertambangan emas di dalam wilayah federasi tersebut. (Djajadiningrat, 1934 :
693). Dengan hasil penambangan emas yang melimpah tersebut, Aceh Barat mampu membiayai perangnya melawan Belanda hingga bertahun-tahun lamanya. Tidak terkecuali di daerah Tungkop dan sekitarnya, juga ikut memanfaatkan penambangan emas ini untuk biaya perang melawan Belanda.
Sebagaimana pada umumnya gadis-gadis Aceh lainnya, Pocut Baren dilahirkan dan dibesarkan dalam suasana perang. Suasana peperangan ini telah membentuk jiwa dan pribadinya sebagai seorang manusia yang harus mampu menghadapi berbagai tantangan yang menghadangnya. Sejak kecil ia telah dilatih dengan berbagai ujian berat yang mampu membentak dirinya sebagai seorang yang kuat, tangguh, ulet, berani dan semangat yang membaja untuk memusuhi Belanda
yang dianggapnya kaphe. Dengan didikan seperti itu, setelah dewasa ia mampu mendarmabaktikan dirinya untuk kepentingan bangsa dan negaranya. Sebagai seorang bangsawan, ia rela meninggalkan kehidupan duniawi yang bergelimang kemewahan. Dengan menggabungkan dri ke dalam barisan pejuang yang hidup di rimba raya untuk ikut bergerilya memimpin perang melawan Belanda.