Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya
bernama Achmad Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh. Nenek
moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Makudum Sati. Salah
seorang keturunan Datuk Makudum Sati pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada
waktu itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya.
Berkat jasa Panglima keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya.
Berkat jasanya tersebut, orang itu kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim
dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian mempunyai dua orang putra yaitu
Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas Safwan: 1981 : 34). Sepeninggal Teuku Nan
Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang 6 Mukim. la
mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhin.
Ahmad Mahmud kawin dengan adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan
itu ia memperoleh dua orang anak perempuan dan empat anak laki-laki. Dari keempat
anak laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar dan Cut Nyak Dhin
merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah Minangkabau,
darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil, 1955
: 48). Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah bertemu,
mereka hanya mengenal nama masing-masing.
Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi juga sangat
cerdas. Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya.
Dalam perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan
keunggulan di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok
anak-anak di kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin
disegani dan ditakuti oleh kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur 10 tahun, ia
memisahkan diri dari kehidupan orang tuanya, mengembara di rimba Aceh dan
bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari pengalaman hidup dan
berguru.
Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la pandai dan gemar
bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam masyarakat.
Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang
meresap sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873,
Umar baru berumur 19 tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih
sangat muda dan jiwanya belum mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat
menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh.
Ketika berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang
Glumpang. la semakin dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan
pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan
derajatnya, Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi
XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk
membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda (Mardanas Safwan, 1981 : 35).
Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti pemimpinpemimpin
lainnya, tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan
mempunyai kemauan yang keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang
diperoleh dari pengembaraannya dari daerah satu ke daerah lain dan berguru pada
orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping memiliki bakat memimpin, dan
mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh dari petualangannya.
Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing
(Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan
kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orangorang
yang berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap
tempur.
Setelah Teuku lbrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda pada tahun
1878, istrinya (Cut Nyak Dhien) menjadi janda. Selama Cut Nyak Dhien menjanda, selalu
mendapat perhatian khusus dari Teuku Umar. Yang menarik baginya bukanlah
kecantikannya tetapi sifat keprajuritan yang ada dalam diri Cut Nyak Dhien. Ia
mempunyai sifat keprajuritan, disiplin, dan keras hati, serta mencintai kemerdekaan
Aceh. Wanita seperti Cut Nyak Dhien sangat tepat menjadi istri seorang pejuang. Dari
sifat-sifat yang menarik hatinya itulah, diam-diam Teuku Umar jatuh cinta pada Cut Nyak
Dhien. Seperti kata pepatah, "gayung bersambut" akhirnya cinta Umar dibalas dengan
perasaan yang sama oleh Cut Nyak Dhien.
Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia
membantu perjuangan suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan
suaminya. Itulah yang menarik hati Teuku Umar. Setelah cintanya diterima dengan
senang hati, Umar melamar Cut Nyak Dhien dan dalam tahun 1878 keduanya
melangsungkan upacara perkawinan di Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972 : 4).
Dengan demikian, Umar telah menikah untuk yang ketiga kalinya. Ketiga istrinya adalah
sama-sama wanita bangsawan dan sama-sama keturunan Uleebalang.
Dari perkawinan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan
yang diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh dari kampung halamannya karena ia
harus lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar) sedang memimpin
pertempuran melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada anaknya
bahwa pada suatu saat nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke
rumahnya di Montasik, karena hak milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut kembali.
Dengan suara kecil ia berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya engkau
kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan menjadi Hulubalang 6 Mukim. Dengan
tersenyum dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula berkata kepada istrinya, bahwa
engkau akan menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim apabila Panglima Sagi
yang sekarang meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).