JAKARTA (Suara Karya): Kesepakatan kemitraan ekonomi antara Indonesia dan Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJEPA) dikhawatirkan dapat mengancam kelestarian sumber daya alam Indonesia.
Menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Rizal Damanik, melalui siaran persnya di Jakarta, Jumat (3/7), indikasi terkurasnya kekayaan alam Indonesia dan berpindah ke Negeri Sakura dapat terlihat sejak diturunkannya tarif bea masuk produk perikanan Indonesia ke pasar domestik Jepang pada tahun lalu. "Volume ekspor udang jenis headlessblack tiger dari 2.421 metrik ton pada 2008 naik menjadi 2.937 metrik ton (Maret 2009) atau ada peningkatan 14 persen dari tahun 2007 sejak IJEPA itu diberlakukan, " katanya.
Perjanjian kemitraan ekonomi yang disepakati negara Indonesia dan Jepang pada 20 Agustus 2007 lalu, menurut Rizal, sekaligus menandakan babak baru dimulainnya liberalisasi dan privatisasi sumber daya alam Indonesia. "Stimulasi tarif nol persen yang diberikan oleh Jepang akan jadi pemicu terjadinya krisis ikan nasional. Bahkan melalui IJEPA pula Jepang menerapkan strategi keamanan energinya," tuturnya.
Apalagi selain perikanan, sektor energi juga sudah diincar Jepang, khususnya gas alam dan batu bara. Pengiriman gas alam ke Jepang adalah ancaman bagi kedaulatan dan ketahanan energi Indonesia. Sebab, gas bukan merupakan energi yang terbarukan. "Pemerintah Indonesia terjangkit amnesia. Sejarah menunjukkan betapa eksploitatifnya Jepang atas sumber daya alam di Tanah Air," ucapnya.
Jadi, lanjut dia, dengan pembuka jalan IJEPA, bangsa Indonesia akan merugi dan dihadapkan pada potensi kegagalan yang lebih besar. Ini juga mengindikasikan untuk menjamin keberlanjutan energi dan pangan Jepang, sekaligus akan mengukuhkan ketergantungan Indonesia pada Jepang pada masa mendatang.
Dengan demikian, guna mempertahankan kedaulatan pangan, seharusnya negara berkewajiban mengoreksi kembali kesepakatan IJPEA dengan mengedepankan prinsip keadilan dan pemenuhan konsumsi domestik. "IJEPA merupakan kesepakatan perdagangan bebas babak baru atau melebihi apa yang telah diatur dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia)," tuturnya.
Sebelumnya Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan pada Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Anang Noegroho SM mengatakan, politik anggaran sektor kelautan dan perikanan perlu disempurnakan. Jadi, tidak menempatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagai tujuan utama dalam pengelolaan sumber daya. "Kita upayakan ini (sektor kelautan dan perikanan) bukan jadi sektor komersial," katanya. (Bayu)
Sumber : Suara Karya
Menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Rizal Damanik, melalui siaran persnya di Jakarta, Jumat (3/7), indikasi terkurasnya kekayaan alam Indonesia dan berpindah ke Negeri Sakura dapat terlihat sejak diturunkannya tarif bea masuk produk perikanan Indonesia ke pasar domestik Jepang pada tahun lalu. "Volume ekspor udang jenis headlessblack tiger dari 2.421 metrik ton pada 2008 naik menjadi 2.937 metrik ton (Maret 2009) atau ada peningkatan 14 persen dari tahun 2007 sejak IJEPA itu diberlakukan, " katanya.
Perjanjian kemitraan ekonomi yang disepakati negara Indonesia dan Jepang pada 20 Agustus 2007 lalu, menurut Rizal, sekaligus menandakan babak baru dimulainnya liberalisasi dan privatisasi sumber daya alam Indonesia. "Stimulasi tarif nol persen yang diberikan oleh Jepang akan jadi pemicu terjadinya krisis ikan nasional. Bahkan melalui IJEPA pula Jepang menerapkan strategi keamanan energinya," tuturnya.
Apalagi selain perikanan, sektor energi juga sudah diincar Jepang, khususnya gas alam dan batu bara. Pengiriman gas alam ke Jepang adalah ancaman bagi kedaulatan dan ketahanan energi Indonesia. Sebab, gas bukan merupakan energi yang terbarukan. "Pemerintah Indonesia terjangkit amnesia. Sejarah menunjukkan betapa eksploitatifnya Jepang atas sumber daya alam di Tanah Air," ucapnya.
Jadi, lanjut dia, dengan pembuka jalan IJEPA, bangsa Indonesia akan merugi dan dihadapkan pada potensi kegagalan yang lebih besar. Ini juga mengindikasikan untuk menjamin keberlanjutan energi dan pangan Jepang, sekaligus akan mengukuhkan ketergantungan Indonesia pada Jepang pada masa mendatang.
Dengan demikian, guna mempertahankan kedaulatan pangan, seharusnya negara berkewajiban mengoreksi kembali kesepakatan IJPEA dengan mengedepankan prinsip keadilan dan pemenuhan konsumsi domestik. "IJEPA merupakan kesepakatan perdagangan bebas babak baru atau melebihi apa yang telah diatur dalam WTO (Organisasi Perdagangan Dunia)," tuturnya.
Sebelumnya Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan pada Ditjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Anang Noegroho SM mengatakan, politik anggaran sektor kelautan dan perikanan perlu disempurnakan. Jadi, tidak menempatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebagai tujuan utama dalam pengelolaan sumber daya. "Kita upayakan ini (sektor kelautan dan perikanan) bukan jadi sektor komersial," katanya. (Bayu)
Sumber : Suara Karya