Thursday, September 17, 2009

ARUNG SEJARAH BAHARI

Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 31 Mei 1945, Muhammad Yamin mengingatkan bahwa calon negara yang tengah mereka persiapkan—yang sudah disepakati bernama Indonesia—terutama berupa daerah lautan. Oleh karena itu, kata Yamin, ”Membicarakan daerah negara Indonesia dengan menumpahkan perhatian pada pulau dan daratan sesungguhnya berlawanan dengan keadaan sebenarnya.”

Sejak awal pendirian republik ini, Yamin sudah menyadari kenyataan bahwa laut Nusantara adalah sumber kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Maka, yang pertama-tama perlu mendapat perhatian seharusnya adalah bagaimana memanfaatkan laut dengan segala potensinya itu untuk kesejahteraan rakyat serta keadilan dan perdamaian.

Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, laut ibarat mata-telinga sekaligus sumber pengharapan akan masa depan yang lebih baik. Kesadaran ini pula yang ingin diteguhkan Yamin. Dengan konsep ”Tanah Air”-nya, ia mengawali pemahaman baru tentang ruang kehidupan bagi bangsa yang baru bertumbuh: Indonesia!

Laut diyakini akan jadi tumpuan masa depan umat manusia, lebih-lebih bagi Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa laut. Di dalamnya begitu banyak sumber daya alam yang belum tergarap dan dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat manusia.

Sumber daya perikanan melimpah. Begitu banyak jenis yang tersedia di laut, kita bisa langsung ”memanen” tanpa terlebih dahulu harus ”menanam” benihnya. Hanya perlu modal serta teknologi penangkapan dan pengelolaannya.

Belum lagi sumber minyak dan gas. Dari sekitar 60 cekungan yang ada saat ini, 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan di kawasan pesisir. Jumlah cekungan yang menyimpan kandungan minyak dan gas bumi tersebut boleh jadi baru sebagian kecil dari potensi sebenarnya yang masih tersimpan di dasar laut Nusantara.

”Jangan lupa, laut berikut selat-selat yang ada berfungsi bagi pelayaran untuk mengangkut barang dan orang dalam skala besar. Dengan kata lain, selain untuk kesejahteraan, laut juga berperan untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian,” kata Susanto Zuhdi, sejarawan maritim dari Universitas Indonesia.

Negara kepulauan

Sangat boleh jadi, terkandung harapan yang besar semacam itu pula ketika pemerintah—melalui Kabinet Djoeanda—pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipilagic state).

Lewat deklarasi yang bersifat unilateral tersebut, Indonesia menyatakan, demi keamanan dan kesatuan, laut Indonesia adalah yang berada di sekitar, di antara, dan dalam kepulauan negara RI. Diklaim juga bahwa batas laut teritorial Indonesia diperlebar dari semula hanya 3 mil (4,82 km) menjadi 12 mil (19,3 km) diukur dari garis pantai terluar pada saat air laut surut.

Terlepas dari kenyataan baru 35 tahun kemudian klaim Indonesia ini diterima PBB dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, semua itu memperlihatkan adanya upaya untuk meneguhkan kembali kesadaran sebagai bangsa dan negara maritim. Bukankah sejatinya konsepsi dari sebuah negara kepulauan adalah menempatkan laut sebagai yang utama?

Konsepsi ini sejalan dengan pemahaman tentang ”daerah inti” (heartland) dalam suatu negara kepulauan, sebagaimana diusung Adrian B Lapian. Nakhoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara ini mengingatkan, bagi sebuah negara kepulauan seperti Indonesia, apa yang disebut sebagai daerah inti bukanlah suatu pulau atau daratan. ”Wilayah maritimlah yang memegang peran sentral,” ujarnya.

Peran itu bahkan sudah diakui kebenarannya dalam sejarah peradaban bangsa ini sejak tahun-tahun awal abad pertama Masehi. Wilayah Indonesia masa lampau, dengan laut, selat, dan teluk yang menaunginya, menjadi jalur utama perniagaan yang menghubungkan kawasan timur (daratan Tiongkok) dan barat (India, Persia, Eropa).

Peran ini berlangsung selama berabad-abad, dengan ”tuan” dan ”nakhoda” yang datang silih berganti. Sekali masa Portugis mengendalikan perdagangan di kawasan ini. Inggris pun sempat menikmati penguasaan Selat Melaka dan jalur pelayaran di pantai barat Sumatera sebelum diambil alih sepenuhnya oleh pedagang-pedagang Belanda.

Begitulah bila perspektif sejarah digunakan untuk melihat peran sentral laut Nusantara, sekaligus menengok jalinan interaksi sosial-kultural—juga ekonomi-politik—antarpengguna kawasan ini.

Ironisnya, ketika laut jadi incaran banyak orang, ketika dunia makin percaya bahwa masa depan umat manusia berada di laut, kita sebagai bangsa yang lebih dari dua pertiga wilayahnya berupa laut justru masih saja berpaling ke darat. Laut diposisikan sebagai halaman belakang, sekadar tempat leyeh-leyeh, sembari menikmati senja saat matahari terbenam.

Deklarasi Djoeanda yang menegasikan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam kenyataannya tak diikuti kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pada pembangunan bermatra kelautan. Juga tidak dalam bentuk memperkuat peningkatan kapasitas angkatan laut yang memadai untuk merealisasikan klaim sebagai negara kepulauan tersebut.

”Perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peran angkatan darat sebagai kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia yang berorientasi ke darat daripada ke laut,” kata Riwanto Tirtosudarmo dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi di Departemen Pertahanan, akhir Mei lalu.

Sebuah fenomena menarik dari bangsa Indonesia tengah dipertontonkan, yang membuat sejarawan Ong Hok Ham (alm) sampai geleng-geleng kepala. Ia pun berucap, ”Apakah orang Indonesia hanya (bisa) hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian untuk kemudian dikolonisasi oleh penguasa yang menguasai lautan Indonesia?”(KEN)