Sultan Ibrahim Mansyursyah (1838- 1870), merupakan Sultan Aceh terbesar di abad ke XIX, pada saat itu Sultan dan para pembesarpembesarnya telah mengetahui maksud dan tujuan Belanda yang sedang berupaya untuk menguasai wilayah-wilayah kerajaan Aceh seluruhnya.
Belanda pada saat itu hanya sedang menanti kesempatan yang baik dan waktu yang tepat untuk mewujudkan niat jahatnya, menguasai Kerajaan Aceh. Karena menurut Belanda selama kerajaan Aceh masih berdiri, Belanda tidak akan bisa leluasa menguasai sendiri perairan Selat Malaka. Oleh sebab itu mereka harus segera
menduduki wilayah dan pusat kerajaan Aceh.
Menurut pendapat Belanda, mereka akan didahului oleh bangsa Eropa lainnya yang menjadi saingan, seperti Inggris, Perancis, Italia, dan yang paling mereka khawatirkan adalah Amerika. Untuk itu Belanda harus bertindak cepat menguasai kerajaan Aceh sebelum bangsa lain mendahuluinya. Karena itulah, Sultan Alaiddin
Ibrahim Mansyursyah dalam tahun 1854 telah memerintahkan keponakannya Tuanku Pangeran Husain dengan mempergunakan 200 buah perahu pukat berikut ± 1000 orang prajurit Aceh untuk berangkat ke Sumatera Timur, guna mengadakan konsolidasi dan meyakinkan raja-raja setempat (Asahan, Kota Pinang, Serdang, Deli, Langkat dan sebagainya), bahwa wilayah mereka adalah bahagian dari kerajaan Aceh, dan Belanda suatu ketika pasti akan mencaplok wilayah tersebut untuk dimasukan ke dalam jajahannya.
Sejak semula harus disadari bahwa Belanda itu adalah musuh Agama, musuh bangsa dan musuh setiap insan yang cinta merdeka. Berkat penerangan dari Tuanku Pangeran Husein, akhirnya raja-raja setempat menyadari bahwa berhasilnya nenek moyang mereka menjadi raja dan orang besar di tempat tersebut adalah karena diangkat dan dibesarkan oleh Sultan Aceh, bukan oleh yang lainnya. Merekapun mengakui bahwa dirinya adalah petugas dari Sultan Aceh. Untuk mengukuhkan kedudukan, Sultan Alaidin Ibrahim Mansyursyah memberikan kepada mereka sarakata pengangkatan yang baru, masing-masing dengan gelar, hak dan kekuasaan dan batas- batas daerah, serta diiringi dengan tanda-tanda kebesaran dan sebagainya.
Dalam tahun 1857, rupanya Belanda telah berhasil memaksa Raja Siak Seri Indrapura untuk menanda tangani sebuah surat pengakuan bahwa negerinya termasuk segala rantau dan jajahan takluknya, di mana dimasukkannya juga wilayah Asahan, Deli Serdang dan Langkat serta Tamiang ke dalamya untuk berada di bawah kedaulatan Belanda dan sebagian dari jajahan Belanda. Karena apa yang diperkirakan sebelumnya telah benar-benar terbukti, maka Sultan Aceh Alaiddin Ibrahim Mansyursyah, pada awal tahun 1858 telah menunjuk dan mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi Timbalan (Vice Boy) Sultan Aceh untuk wilayahwilayah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, di mana Tuanku Hasyim boleh memilih sendiri staf-stafnya. Kemudian Tuanku Hasyim segera berangkat ke tempat tugasnya, guna menghadapi, mematahkan, menggagalkan atau sekurang-kurangnya menghalangi niat busuk Belanda yang ingin menggeranyangi wilayah kerajaan Aceh yang jauh dari Ibu Kota, terutama wilayah subur di Sumatera Timur. Padahal sebelumnya baik Inggris bahkan Belanda dari dulu mengakui bahwa daerah itu adalah sah termasuk dalam kedaulatan Aceh Darussalam.
Malah menurut pengakuan Sultan Aceh sendiri wilayahnya sampai ke Tanah Putih Ayam Denak di Riau. Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan Sulthan, dan melihat Panglima Teuku Nyak Makam seorang yang berbakat serta cerdas. Tuanku Hasyim mengangkat Teuku Nyak Makam sebagai asisten dan pembantunya. Walaupun akhirnya seluruh daerah Sumatera Timur dapat dikuasai Belanda, tetapi bukan berarti Tuanku Hasyim tidak sukses dalam tugasnya. Ini terbukti, kecuali Langkat sendiri yang didorong oleh ambisi dan kepentingan pribadinya yang terang-terangan menjemput Belanda ke Bengkalis, maka raja-raja yang lain sewaktu Residen Netscher dari Bengkalis mengadakan pemeriksaan ke Deli Serdang dan Asahan tidak ada satupun yang mengaku bahwa Siak berkuasa atas negeri mereka.
Tegasnya mereka menolak kedaulatan Belanda baik langsung maupun tidak langsung, apalagi melalui Siak atas negerinya. Kesimpulannya baik karena faktor Tuanku Hasyim atau faktor kesetiaan kepada Aceh dari Raja Deli, sehingga menyebabkan rencana Belanda untuk menguasai Sumatera Timur di tahun 1862, gagal sama sekali, dan Belanda terpaksa pulang ke Bengkalis dengan tangan hampa.
Dalam tahun 1863 Tuanku Hasyim mendapat bantuan tenaga dari pusat dengan didatangkannya Laksamana Teuku Cut Lateh Raja Muda Meureudu, di mana Raja Muda Meureudu tersebut menyinggahi pula kedudukan raja demi raja di Sumatera Timur sampai ke Asahan. Kecuali Langkat sendiri, maka Deli apalagi Serdang, lebih lagi Asahan segera menyambut baik kedatangan Panglima Aceh tersebut dengan perasaan gembira dan bangga. Sebaliknya karena adanya Tuanku Hasyim Banta Muda yang telah menjadi menantu pangeran, Musa Langkat yang merupakan mertuanya sengaja memasukkan Belanda menjadi gagal untuk menandatangani surat penyerahan Langkat kepada Belanda. Untuk menghadapi kemungkinan serangan mendadak dan besarbesaran dari Belanda, maka Tuanku Hasyim bersama Teuku Mudah Cut Lateh, Tuanku Hitam (adik Hasyim) dan Panglima Nyak Makam membuat kubu-kubu pertahanan di Teluk Ham, Pulau Kampai, Pulau Sembilan, Kuala Gebang, Pangkalan Siantar, Bogak, Tualang Cut dan tempat-tempat strategis lainnya.
Saat itu, Panglima Teuku Nyak Makam ditugaskan untuk mempertahankan Benteng Pulau Sembilan yang berseberangan dengan Pulau Kampai, sehingga sewaktu Residen Netscher mencoba menggempur benteng Aceh, dengan mudah prajurit-prajurit Aceh memuntahkan pelurunya dari dua jurusan ke kapal perang Belanda, sehingga Netscher terpaksa lari ikut pulang ke pangkalannya. Pada tahun berikutnya Belanda mencoba lagi menyerang pertahanan Aceh di Teluk Ham Pulau Kampai dan Pulau Sembilan. Hasilnya, beberapa serdadu laut Belanda tewas. Sejak itu, buat sementara Belanda telah mengalihkan perhatiannya ke Asahan dan Serdang yang dianggap Belanda keras kepala, karena setia kepada Aceh dan tak mau menyerahkan kedaulatan negerinya kepada Belanda.
Pada tanggal 23 Mei 1863 Residen Netscher dari Bengkalis mengirimkan surat ancamannya kepada kedua Raja tersebut. Teuku Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah Serdang menolak mentah-mentah untuk sekedar menerima surat tersebut, malah mengusir si pembawanya untuk segera berangkat dari hadapannya. Sebaliknya Sultan Ahmad Syah Asahan, telah membalas dengan pedas surat Netscher itu dan mengatakan kepada pembawanya: “Saya sama sekali tidak mengerti kenapa Belanda begitu hebohnya kepada Asahan, kenapa mereka tidak berani langsung menyerang dan menaklukkan Aceh kalau mereka berkuasa”. Dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda tertanggal 25 Agustus 1865, tanggal 20 Agustus 1865 berangkatlah enam buah kapal perang Belanda dengan memuat 1000 orang serdadunya di bawah pimpinan Kapten P.A.van Rees. Angkatan daratnya dipimpin Mayor W.E.F.van Hemskreeck dan pimpinan politiknya langsung dipegang oleh Residen Riau Netscher. Tanggal 12 September 1865 mereka tiba di Asahan dan Residen Netscher langsung menyampaikan ultimatum perang kepada Sultan Asahan, yang ditulis di atas kapal Jambi tertanggal 12 September 1865. Isinya antara lain meminta kepada Sultan supaya memilih dua kemungkinan, yaitu menyerahkan kedaulatan negeri Asahan atau perang. Sulthan Asahan sedikitpun tidak menggubris dan menghiraukan ultimatum itu. Akibatnya Belanda menggempur Asahan dari dua jurusan, sebagian mendarat di kampung Bogak Batubara menuju Asahan dan sepasukan lagi baru tanggal 17 September 1865 berhasil mendaratkan tentaranya di kampung Rawa. Setelah mengorbankan puluhan nyawa serdadu dan perwira -perwiranya dalam menghadapi perlawanan seru dari Sulthan dan rakyat Asahan, baru Belanda berhasil menduduki Asahan. Kemudian Sultan Ahmadsyah yang perkasa itu dan kedua adiknya dibuang Belanda ke Tanjung Pinang. Tapi atas desakan rakyat, Belanda terpaksa mendudukkan beliau kembali ke tahta.
Setelah terlebih dahulu menaklukkan Asahan dari kedaulataan Aceh, maka pada tanggal 8 Oktober 1865 Residen Netsher dengan pasukan lengkap yang diangkut oleh beberapa kapal perang telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar pulau Sembilan dan pulau Kampai, dan berlabuh di tengah laut sekedar melihat bendera Aceh yang berkibar dengan megahnya.
Raja Burhanuddin diutus ke darat untuk menjumpai Tuanku Hasyim, di situlah Belanda baru tahu bahwa Hasyim dengan sebagian prajurit-prajuritnya tidak ada di pulau Kampai karena telah berangkat ke Ibu Kota. Pertahanan di pulau Kampai dan sekitarya hanya dipercayakan kepada adiknya Tuanku Hitam. Tuanku Hitam diajak Raja Burhanuddin (yang juga dikenal sebagai Teuku Komando, pegawai setia Belanda di Betawi) untuk menjumpai Netscher ke kapal. Tuanku Hitam menolaknya. Walaupun dengan separuh lagi dari pasukan Aceh yang masih bertahan, namun demikian Belanda belum berani mendarat, dan mereka terpaksa kembali dulu ke Bengkalis. Demikianlah, pada tanggal 8 Oktober 1865, Residen Netscher dengan pasukan lengkap yang diangkut oleh beberapa kapal perangnya, di mana turut juga Pangeran Musa dan prajurit-prajuritnya, telah menggempur benteng-benteng Aceh di sekitar pulau Kampai. Setelah menggempur matimatian selama beberapa hari, pada tanggal 14 Oktober 1865 terpaksalah Tuanku Hitam, berikut Teuku Muda Cut Lateh Meureudu dan Panglima Teuku Nyak Makam mengundurkan diri ke Manyak Paet.
Pada tanggal 14 Oktober 1865 itu juga pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Cattenberg komandan pasukan infanteri Belanda dengan dibantu oleh Letnan Laut van Thiel, juga Pangeran Musa Langkat, berhasil masuk ke sungai Temiang melalui sungai Kuruk, untuk mengantarkan Teungku Sulung Laut guna dirajakan di Seuruwey, sebagai Vice Roy Langkat dan boneka Belanda.
Sejak tanggal 18 Oktober 1865 itulah mulai berkibarnya bendera Belanda di salah satu sudut di Aceh, yaitu di Pulau Seuruwey. Walaupun telah berhasil menguasai Seuruwey, namun Belanda hingga sekian puluh tahun belum berani menyerang daerah-daerah Aceh lainnya, sampai meletusnya perang resmi di bulan April 1873. Setelah jatuhnya Seuruwey ke tangan Belanda, Panglima Teuku Nyak Makam mula-mula mundur ke Telaga Meuku, kemudian ke Peureulak di mana banyak terdapat kaum keluarga dan orang-orang sekampungnya. Beberapa hari di Peureulak dan berdiskusi dengan Teuku Chik Peureulak tentang situasi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Simpang Ulim. Di sana beliau menemui Teuku Johan Lam Pase, yang juga menyampaikan hal yang sama, dari Simpang Ulim beliau pergi ke Pulau Penang. Dari Pulau Penang pulang ke Lamnga, Aceh Besar. Tetapi sewaktu pasukan Belanda mencoba memasuki sungai Yu, mereka dibantu oleh pasukan Maharaja Lubuk (Uleebalang Sungai Yu), malah sebuah bargas (kapal perang kecil dari besi) Belanda, berhasil ditenggelamkan oleh Datuk Panglima Muda, dengan hanya memuntahkan beberapa peluru meriam. Seluruh personilnya turut tenggelam ke dasar sungai bersama dengan kapal-kapalnya.
Terhitung sejak tanggal 14 Oktober 1865, berakhirlah kekuasaan Aceh di Sumatera Timur, dan sejak tanggal 14 Oktober 1865 itu juga mulailah berkibar bendera Belanda. Sejak saat itu pula bertambah berkobarlah kebencian Panglima Teuku Nyak Makam kepada Belanda yang telah mulai di hadapinya sejak tahun 1862, yaitu 11 tahun sebelum perang resmi antara kerajaan Aceh versus kerajaan Belanda, pada tahun 1873.***
■ Hamdhani
keyword : Visit Aceh, adat dan budaya Aceh, kuliner Aceh, Wisata Aceh, Sejarah Aceh, Akomodasi aceh
keyword : Visit Aceh, adat dan budaya Aceh, kuliner Aceh, Wisata Aceh, Sejarah Aceh, Akomodasi aceh