Tuesday, July 20, 2010

Penemuan Jenis Ikan Baru Pelangi Papua

Koleksi spesimen ikan pelangi “Rainbowfish” taksa Melanotaenia adalah hasil ekspedisi iktiologi tahunan sejak 2007 yang di gagas oleh trio institusi patnership “APSOR-IRD-BRBIH” dan didukung penuh oleh instansi di daerah. Tim ekspedisi telah mengoleksi semua jenis rainbowfish yang telah dideskripsi di habitat aslinya “Kepala Burung Papua” untuk tujuan studi Sistematika, Evolusi, Domestikasi dan Konservasinya. Paper pertama ini telah dipublikasikan secara tradisi ilmiah di “Journal of Cybium. 34 (2) 2010”.

Rainbowfish, Melanotaenia, diyakini oleh sains adalah turunan evolutif bangsa ikan hering laut “Atheriniformes”, ekspansial distribusi spesiesnya dan kolonialisasi habitat di daratan kembar Austra-New Guinea berakhir pada saat zaman es, ketika muka air laut naik secara dramatis dan menggenangi selat Torres dan bagian timur laut Arafura yang sebelumnya adalah dataran rendah yang dibelah oleh ratusan sungai kuno, yang merupakan jalur-dispersal dari ratusan spesies yang lalu-lalang diantara dua daratan besar tersebut. Ilmuwan mencatat 76 spesies dalam famili Melanotaeniidae, yang tersebar di 7 genera, dimana genus Melanotaenia yang paling tinggi diversitasnya 54 spesies. Harapan hidup rainbowfish umumnya 7-9 tahun dengan panjang standar maksimum 13 cm.

Temuan spesies baru M. fasinensis membuktikan masih tingginya diversitas iktiologi Papua yang kini menjadi tantangan besar untuk sains. Penemuan ini pula mengukuhkan Plato Karstik Ajamaru sebagai jantung endemisitas rainbowfish tertinggi yang dicatat oleh sains. Kawasan kepala burung Papua (semenanjungVogelkop) sendiri adalah rumah bagi 12 jenis Melanotaenia yang sudah dideskripsi saat ini, namun investigasi sementara genetik-morfometrik, hot spot peninsular ini setidaknya dihuni dua kali jumlah spesies yang dibukukan sains. Spesies-species ternama dan kharismatik seperti M. boesemani, M. parva dan M. fredericki telah lebih dulu mempesona mata pencinta akuarium di Eropa dan Amerika dengan warna fantastik sebagai penghias akuarium.

Sayangnya, ikan rainbow keluar negeri tanpa melalui kegiatan “budidaya”, yang mencerminkan, regulasi dan proteksi diversitas ikan di Indonesia sangat tidak memadai. Khusus diversitas Melanotaenia, penangkapan di alam sudah berlangsung sejak 1982 hingga September 2009 baik oleh kolektor domestik maupun kolektor asing. Indonesia sepertinya belum berdaulat di atas biodiversitasnya sendiri? Kaitannya dengan diversitas iktiologik, selama ini studi ikan air tawar dianggap kurang menarik, tidak seksi, jika dikomparasi dengan spesies ikan laut, tetapi warta riset ini setidaknya mengingatkan kita bahwa harta karun ikan air tawar Papua masih tersimpan, menunggu uluran taksonomis ikan Indonesia yang jumlahnya hanya kurang dari 10 orang. 

Melanotaenia fasinensis, ditemukan di sungai Fasin, Kampung Ween, gugusan kali Kladuk, 25 km sebelah barat danau Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan. Kemolekannya dibalut warna dominan merah darah pada bagian tengah hingga ekor, tutup insangnya dironai biru baja berhias percikan warna emas pada bagian atas, sedangkan bagian abdomennya terpencar noktah biru terang hingga bagian belakang sirip pektoralnya. Sirip transversalnya dipertegas dengan 7-8 baringan strip merah-pinka, dan kedua sirip dorsalnya dibordir refleks merah violet diakhiri fluks putih pada ujung sirip dorsalnya. Nama “fasinensis” merujuk nama habitat, sungai dimana spesies ini hidup sejak ratusan ribuan tahun lamanya. Penamaan spesies baru oleh tim, sengaja menghindari pemberian nama dengan tokoh-personal untuk menghindari konflik sosial, walaupun lubuk harfiah dan fitrahnya ditentukan oleh peneliti yang mendeskripsikan spesies tersebut. Penemuan jenis baru tahun ini adalah bagian dari semangat penduduk planet bumi untuk menghormati tahun biodiversitas 2010, dimana roh peringatan tersebut adalah upaya untuk menguatkan komitmen bersama dalam mengurangi penurunan dan punahnya diversitas biologik. Saat ini APSOR.BPSDMKP-BRBIH.BRKP-IRD sedang mempelajari upaya domestikasinya untuk tujuan budidaya dan konservasi.

Melanotaenia ajamaruensis, disampling pertama kalinya dari Danau Aitinjo oleh Sten Bergman pada 1948-1949, kemudian ia mengoleksinya di museum Swedia. Sampling kedua pada 6 Maret 1955 oleh Dr. Marinus Boeseman, kurator Museum Naturalis, Leiden-Belanda. Selama ekspedisi ilmiahnya, Mr.Boeseman hampir mengunjungi semua bagian West New Guinea, dan mengoleksi ribuan spesimen termasuk rainbow Ajamaru, spesies ini tersimpan apik 25 tahun lamanya karena ia sendiri tidak sanggup mendeskripsi semua spesimen tangkapannya hingga ia meninggal pada 2006. Mega-koleksi Mr. Boeseman adalah hasil dari ekspedisi biotop di Papua sekitar 7 bulan lamanya. Karena keterbatasan waktu, 25 tahun sesudahnya, akhirnya G.R. Allen dan Norbert Cross pada 1980 mendeskripsi 4 jenis baru hasil koleksi Boeseman termasuk spesies fenomenal ini. Selanjutnya Allen memburu spesies ini selama 7 tahun (1982-1989) dengan mengunjungi penjuru pelosok Sorong Selatan, namun gagal menemukan spesimen hidup, hingga akhirnya kembali ke Australia pada 1990 dan menduga M. ajamaruensis mungkin sudah punah.

Pada Akhir Mei 2007, tim ekspedisi rainbowfish multi-institusional menyatakan sukses menemukan kembali M. ajamaruensis, spesies pelangi yang paling ditunggu-tungu oleh para kolektor-hobbi dan pencinta ikan hias se-jagat. Rainbow Ajamaru hidup di sungai karstik Kaliwensi, Soroang, bekas kanopi era-kolonial, habitat Kaliwengsi mengancam kelangsungannya, karena sungai ini terlintang hanya sepanjang kurang dari 1 km, dan diperparah dengan desakan aktivitas demografis. Untuk membuktikan kebenaran spesies ini, tim akhirnya harus mengunjungi Museum Leiden untuk mengukur Holo-Paratype nya. Alhasil, data komparatif merujuk pada deskripsi originalnya, yang menitahkan, benar Rainbow Ajamaru ditemukan kembali. Koleksi spesimen hidup saat ini didedikasikan untuk upaya konservasinya. Melanotaenia parva, native spesies danau Kurumoi, 243 m.dpl. Sejak dideskripsikannya pada 1990, habitatnya sudah didera oleh erosi tanah yang hebat dan suburnya semak menyeruak dan menutupi hampir seluruh permukaan danau. Tim ekspedisi multi-institusional, awal Mei 2007, berhasil mencapai lokasi ini selama 3 hari perjalanan dan telah menginvestigasi topo-karakter danau kecil ini dengan porsi waktu kurang dari 48 jam.

Rainbow Kurumoi sudah tidak ditemukan di dalam danau yang sudah didominasi spesies eksotik Oreochromis mossambicus, minoritas populasinya yang terdesak hanya bisa ditemukan dari bekas outlet danau berupa selokan (40-50 cm), drainase danau ini sebelumnya bermuara ke sungai Yakati, sungai besar Yakati sendiri dihuni oleh M. angfa, jenis lain yang berwarna fantastik kuning keemasan. Sejak G.R Allen mengunjungi danau Kurumoi 20 tahun silam, ia pun sudah mendokumentasikan ancaman habitat pada spesies unik ini. Kondisi danau saat ini sangat dramatis memperihatinkan dan diperkirakan kering habis kurang dari 10 tahun mendatang. Etape ekspedisi Kurumoi menuai pengalaman heroik karena hampir merenggut 2 nyawa anggota tim akibat kondisi berat perjalanan, persiapan logistik dan ancaman ganasnya buaya sungai besar Yakati. Koleksi spesimen hidup saat ini menjadi satu-satunya harapan generatif untuk upaya konservasi eks-situ.

Koleksi spesimen dalam formalin dan alkohol untuk semua Holo-Paratype disimpan di “Museum Zoologicum Bogoriense-MZB, LIPI” dan “Sorong Fishes Collection” di kampus APSOR-Sorong, Papua Barat. Riset tahunan ini terlaksana di bawah bendera “kerja patnership” dimana tim Indonesiano- Français bekerja bareng tidak hanya di lapangan, tetapi berkomitmen hingga analisis eksperimental di laboratorium dan publikasi, co-author terdiri dari peneliti kedua negara. Selama ini, sampel dari tanah air dibawa ke luar untuk tujuan deskripsi, lalu dipublikasikan tanpa co-author Indonesia dan umumnya peneliti kita hanya ditulisi “terimakasih”. Historis ini menjadi dasar kerja sama kami, bahwa harus ada “transfer pengetahuan” dari lapangan hingga publikasi.

Tujuan terbesar Program Rainbowfish adalah mendomestikasi seluruh spesiesnya melalui muara Akuakultur, untuk mata pencaharian masyarakat, konservasi dan studi multi-disipliner lainnya. Akhirnya kami haturkan terimakasih tak terhingga kepada seluruh masyarakat dan kepala Dinas Perikanan se Papua Barat. Ucapan yang sama kepada: SCAC Jakarta-French Embassy, WASCO-ABS, dan IRD atas dukungan finansial selama kegiatan berlangsung.

Sumber : Akademi Perikanan Sorong