Monday, June 1, 2009

Kapal Perang Malaysia Masuki Wilayah NKRI Lagi...

Memang gak puas-puasnya,,,, :/
Dah melakukan pelanggaran wilayah kemarin, masih ja ngelakuin hal yang sama!!!!
Apa sih maunya Malaysia itu???? 0:)
Padahal sudah telak-telak itu batasan wilayah negara kita, masih aja masuk tanpa izin.

Lhoe,,,,lhoe....lhoe....
Gw kok jadi ngomel sendiri ne!!!
Maklumlah,,,, Gw kan CINTA INDONESIA.... <3>>>???)
8-|

Ini lhoe penyebab yang membuat gw jengkel.... :/
Kapal perang Malaysia melanggar batas wilayah dengan memasuki perairan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lagi.

"Kapal itu tepatnya berada di sebelah tenggara mercu suar Karang Unarang, Perairan Ambalat," kata Kepala Dinas Penerangan Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim), Letkol Laut Toni Syaiful, di Surabaya, Sabtu petang.

Kapal jenis "Fast Attack Craft" milik Angkatan Laut Malaysia bernama KD Baung-3509, Sabtu sekitar pukul 06.00 Wita, secara terang-terangan melakukan provokasi dengan memasuki perairan NKRI sejauh 7,3 mil laut pada posisi 04,00,00 Lintang Utara dan 118,09,00 Bujur Timur dengan kecepatan 11 knot.

Titik posisi pelanggaran kapal Malaysia itu berhasil dideteksi melalui radar Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Untung Suropati-872 yang sedang berpatroli di Perairan Ambalat pada posisi 04,04,80 Lintang Utara dan 118,03,10 Bujur Timur.

KRI Untung Surapati-872 yang dikomandani Mayor Laut (P) Salim itu akhirnya memerintahkan anak buah kapal (ABK) untuk melaksanakan perang tempur bahaya kapal permukaan dan melakukan pengejaran kapal asing.

"Dua KRI lain yakni KRI Pulau Rimau dan KRI Suluh Pari yang juga sedang patroli di sektor perbatasan sebelah utara Perairan Ambalat pun bergabung melaksanakan pengejaran," katanya.

Setelah mendekati titik pengejaran dan berhasil mengidentifikasi secara visual kapal tersebut barulah diketahui kapal perang Malaysia itu adalah KD Baung-3509.

Kapal KD Baung-3509 itu sebelumnya juga telah melakukan pelanggaran wilayah, Minggu (24/5). Hasil identifikasi KRI Untung Surapati, kapal perang Malaysia buatan Jerman tahun 1976 itu berbobot 244 ton dengan panjang 44,9 meter dan lebar 7 meter.
:o
Saat KRI Untung Surapati melakukan konfirmasi, kapal perang Malaysia yang memiliki meriam 57 mm dan 40 mm tersebut menutup radio dan tidak mau menjalin komunikasi.

Menanggapi hal itu, KRI Untung Surapati memberikan komunikasi isyarat sekaligus melaksanakan "shadowing" (membayangi secara ketat) untuk memaksa KD Baung-3509 keluar dari perairan NKRI.

"Selama proses shadowing, KD Baung melakukan empat kali manuver zig-zag serta meningkatkan kecepatan kapal. Ketegangan pun terjadi selama 1,5 jam, namun KRI Untung Surapati akhirnya berhasil menghalau kapal Malaysia," katanya.

Tidak lama setelah KD Baung-3509 kembali ke perairan Malaysia, sebuah helikopter Malaysia melintas di atas kapal tersebut dalam posisi memberikan perlindungan.

Mengetahui hal itu, KRI Untung Surapati mengontak unsur Patroli Udara TNI AL Nomad P-834 yang berada di Tarakan, Kalimantan Timur untuk membantu proses penghalauan kapal perang Malaysia.


Yang Hilang dari Indonesia Saat Malaysia Terobos Perbatasan

Belakangan ini, perpolitikan Indonesia kembali "dimeriahkan" dengan perdebatan sikap tentang langkah yang perlu diambil terhadap negara asing, khususnya Malaysia. Hal itu disebabkan beberapa kapal perang asing, termasuk Malaysia berulang kali memasuki wilayah Indonesia seperti perairan Nunukan dan Pulau Ambalat, Kalimantan Timur serta sekitar Pulau Nipah, Kepulauan Riau (Kepri).

Berbagai pendapat muncul, ada yang menyarankan Indonesia bersikap tegas dan ada pula yang mengimbau agar ditempuh upaya perundingan. Apa motif dari pihak asing itu serta ada apa dengan pulau-pulau di nusantara ?

Berdasarkan data di Departemen Dalam Negeri, terdapat 17.504 pulau di Indonesia, 7.870 pulau di antaranya telah memiliki nama sedangkan 9.634 lainnya belum dinamai. Dari jumlah itu, provinsi yang paling banyak memiliki pulau adalah Kepri dengan 2.408 pulau, yang 1.350 pulau telah diberi nama sedangkan sisanya sebanyak 1.058 masih belum dikenal.

Namun, menurut peneliti kelautan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Dr. Ono Kurnaen Sumadiharga, kebanyakan pulau-pulau itu berada di daerah terluar dan dalam jarak yang sangat jauh. "Dan sebanyak 92 pulau terluar itu sangat berpeluang diambil alih pihak asing," katanya.

Selain banyak yang belum berpenghuni, peluang diambil pihak asing disebabkan 92 pulau itu jarang, bahkan sebagian tidak pernah dikunjungi pejabat pemerintahan. Ia mencontohkan dengan beberapa pulau di timur Pulau Biak, Provinsi Papua yang lokasinya sangat jauh dan jarang dikunjungi.

Demikian juga dengan beberapa pulau kecil yang berada di sekitar kepulauan Natuna, Kepri yang tidak ditempati dan juga jarang dikunjungi. "Kalau tidak (diamankan) segera, nasib 92 pulau itu akan sama dengan (Pulau) Sipadan dan Ligitan," kata Ono.

Guru besar bidang oseanografi Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu pun menambahkan, ada juga pulau yang sudah berpenduduk namun tetap memiliki peluang diklaim pihak asing menjadi milik negara mereka.
Contohnya, kata dia, ada beberapa pulau di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yang penduduknya banyak berbahasa Tagalog, bahasa resmi Philipina dan menggunakan mata uang negara tetangga itu, Peso.

Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak tertutup kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di pulau tersebut.

Jadi "incaran"

Kondisi lokasi yang sangat jauh, belum berpenghuni dan jarang dikunjungi itu diperkirakan banyak pulau-pulau di Indonesia menjadi incaran pihak asing. Dua di antaranya, Pulau Sipadan dan Ligitan telah berpindah ke tangan ke Malaysia.

Menurut Prof. Ono Kurnaen Sumadiharga, banyak cara yang ditempuh pihak asing untuk mencoba menduduki pulau-pulau terluar itu. Salah satunya, melalui nelayan asing yang mencuri ikan dan menggunakan pulau-pulau itu sebagai tempat tinggal.

"Setelah itu, nelayan-nelayan asing itu menancapkan bendera nasional mereka dan mengaku bagian dari negaranya," kata Ono. Dengan kondisi tersebut, banyak pihak yang menuntut pemerintah Indonesia untuk bertindak tegas terhadap kapal- kapal asing itu, termasuk Malaysia.

Mantan anggota Komisi I DPR, Permadi pernah meminta pemerintah, dalam hal ini TNI untuk menembak atau menabrak kapal-kapal asing seperti Malaysia dan Singapura yang memasuki wilayah kedaulatan RI. Namun, mantan Duta Besar RI untuk Malaysia dan Singapura, Letjen TNI (Purn) Rais Abin menganjurkan agar hal itu diselesaikan melalui ASEAN.

Menurut dia, Indonesia mulai kurang memberdayakan dan memanfaatkan ASEAN untuk mengatasi masalah regional, seperti masuknya kapal negara tetangga ke perairan nasional. Akibatnya, permasalahan yang muncul seperti itu sering tidak terselesaikan dan berpeluang terjadi lagi di kemudian hari.

Padahal, ASEAN sengaja dibentuk para pemimpin negara di kawasan Asia Tenggara masa lalu agar dapat menjadi wadah berdiskusi dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang mungkin muncul antar negara di daerah itu.
ASEAN juga didirikan dengan tujuan agar negara-negara di Asia Tenggara dapat saling menghormati dan bekerja sama untuk kemajuan.

"Untuk apa ada ASEAN kalau tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah seperti itu. Buat apa juga ada ASEAN kalau tidak saling menghormati," katanya. Rais Abin yang juga Ketua Umum Legiun Veteran RI itu juga mengimbau pemerintah Indonesia tidak perlu bersikap reaktif, seperti mengerahkan TNI untuk menembaki kapal-kapal asing yang dapat menyulut perang.

Memang, kata dia, fungsi TNI tidak bisa ditawar lagi sebagai penjaga dan pengaman kedaulatan wilayah Indonesia tapi harus berpikir matang jika menyulut perang. "Nggak mampu kita (berperang)," katanya. Pendapat yang hampir sama juga disampaikan pengamat Hubungan Internasional, Bantarto Bandoro yang mengimbau agar Indonesia tidak terpancing dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia yang mengirimkan beberapa kapal patroli ke perairan nasional, khususnya Ambalat.

"Mereka saya kira hanya mengetes kesiapan Indonesia dalam mengamankan Ambalat. Selama ini Indonesia kurang bereaksi jika kasus ini mencuat," katanya.
Namun, Permadi mungkin tidak sependapat dengan Rais Abin. Politisi dari PDI Perjuangan itu mengakui jika alat persenjataan militer Singapura dan Malaysia memang kuat tapi keberanian prajuritnya tidak seperti personil TNI.

Prof. Ono menyatakan, kondisi itu dapat diatasi dengan cara melakukan penjagaan seperti menempatkan personil Angkatan Laut di pulau-pulau terluar tersebut. Jika kurang mampu, pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan pihak swasta agar pulau-pulau itu dimanfaatkan seperti dijadikan tempat wisata.

Apabila sudah ada kegiatan di pulau-pulau terluar itu, maka pihak mana pun tidak berani untuk melakukan kegiatan lain, apalagi jika sampai mengklaimnya sebagai milik mereka. Pemerintah juga dapat memasukkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau itu. "Namun harus ada perjanjian dulu yang tidak merugikan Indonesia dalam segala hal," katanya

Rais Abin juga mengatakan, permasalah yang timbul belakangan ini diakibatkan kurangnya komunikasi antar pejabat Indonesia dan Malaysia. "Berbeda dengan dulu, hubungan pejabat Indonesia-Malaysia sangat akrab karena sering berkomunikasi. Semua persoalan pun menjadi mudah," kata Abin yang juga mantan Sekjen KTT Non Blok itu.

Dulu, kata dia, hubungan kekerabatan antara pejabat Indonesia-Malaysia sangat baik karena sering berkomunikasi, baik secara formal mau pun informal. Hal itu menyebabkan pejabat Indonesia sangat akrab dengan pejabat Malaysia pada masa itu seperti Mahathir Mohammad, Datuk Musa Hitam dan Anwar Ibrahim.

Efeknya, semua urusan dengan pemerintahan Malaysia menjadi sangat mudah, baik itu menyangkut TKI mau pun wilayah perbatasan. "Kalau ada masalah, saya tinggal angkat telepon dan menghubungi Datuk Musa Hitam atau Anwar Ibrahim, semuanya selesai," kata diplomat senior yang pernah menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB itu.


Konflik Ambalat Sebaiknya Diselesaikan Asean

Penyelesaian konflik Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia sebaiknya diselesaikan di tingkat Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) jika kedua negara tidak bisa menyelesaikan secara bilateral.

Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Arwani Irawati MA di Jakarta, Sabtu, mengatakan, Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan konflik Ambalat melalui forum diplomasi secara bilateral tapi sampai saat ini belum ada penyelesaian kongkrit.

"Jika konflik tersebut tidak bisa diselesaikan secara bilateral, sebaiknya diselesaikan di tingkat ASEAN karena Indonesia dan Malaysia adalah anggota ASEAN," kata Arwani Irawati.

Dikatakannya, jika konflik tersebut diselesaikan di tingkat ASEAN maka Indonesia berpotensi memenang. Pertimbangannya, blok Ambalat yang menjadi wilayah sengketa lebih condong masuk ke perairan Indonesia dan Indonesia sudah lebih dulu menemukan sumber minyak di Blok ND-6.

Pertimbangan lainnya, kata dia, Malaysia berpotensi konflik dengan beberapa negara lain anggota ASEAN.

Jika konflik ini dibahas secara resmi oleh ASEAN, ia memperkirakan, Indonesia akan menang karena beberapa negara lain akan membela Indonesia.

Menurut dia, Indonesia enggan kalau konflik ini dibahas di mahkamah internasional karena ada pengalaman buruk yakni konflik pulau Sipadan-Ligitan yang akhirnya lepas ke wilayah Malaysia.

"Saat itu Malaysia membuat peta baru pada 1997 yang memasukkan pulau Sipadan-Ligitan ke dalam kawasan perairan negara tersebut," katanya.

Peta itu, kata dia, yang diajukan Malaysia ke mahkamah internasional sebagai salah satu dasar gugatannya. Padahal, di peta tersebut Malaysia sudah mengambil sebagian wilayah perairan Indonesia.

Menurut dia, jika persoalannya sudah saling klaim wilayah harus diselesaikan secara hukum.

"Pemerintah Indonesia harus bisa bersikap tegas menyelesaikan persoalan ini karena posisinya kuat," kata Arwani.

Jika secara hukum juga belum ada penyelesaian, kata dia, opsi terakhir yang bisa dilakukan adalah kerja sama pengelolaan sumber minyak di Blok Ambalat antara kedua negara.

Sumber: Yahoo!