Tuesday, August 18, 2009

Zonasi Laut Dikompromikan

Jakarta – Penyusunan zonasi perairan harus berdasarkan kompromi antara pemerintah daerah (pemda), masyarakat dan pelaku usaha sebagai dasar pembentukan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3).

Kapling laut ini akan dimulai disusun tahun 2010 di 20 kabupaten/kota dan kota.
“Pemda wajib melibatkan masyarakat, termasuk LSM, dalam penyusunan zonasi. Jangan hanya antara pemda dan pengusaha,” tegas Sekretaris Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Sudirman Saad, Jumat (7/8).

Penyusunan zonasi dipastikan mulai 2010, sebab Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil akan selesai tahun ini. UU ini memuat mengenai HP3 secara khusus.

Keterlibatan masyarakat diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Noor PER.08/MEN/2009 tentang Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Zonasi disusun dalam bentuk peraturan daerah (perda) dengan pertimbangan akan memiliki legitimasi kuat. Sebab, perda disusun setelah mendapat persetujuan dari DPRD yang diharapkan akan menjadi representasi masyarakat. Sebelum perda disahkan, harus mendapat persetujuan dari Gubernur dan Menteri Kelautan dan Perikanan. “Berdasarkan UU No 27 Tahun 2007, tidak boleh ada pemanfaatan perairan tanpa rencana zonasi,” kata Sudirman.

Sudirman menegaskan, penyusunan zonasi menyesuaikan dengan kondisi riil perairan dan nelayan di sekitarnya. Pelaku usaha yang menguasai perairan atau pemilik pulau harus menyesuaikan dengan zonasi.

Hentikan Kapling Laut
Sementara itu, dalam siaran pers, KIARA (Keadilan Rakyat untuk Keadilan Perikanan) membuat pernyataan desakan masyarakat hukum adat, nelayan tradisional, perempuan nelayan, masyarakat pesisir, masyarakat peduli lingkungan hidup, gerakan masyarakat sipil, dan akademisi dari Indonesia, Malaysia, Filipina, India, dan Thailand guna menghentikan praktik privatisasi, monopoli, dan liberalisasi sumber daya kelautan dan pesisir.

Desakan itu disampaikan pada International Symposium on Customary Institutions in Indonesia: Do they Have a Role in Fisheries and Coastal Area Management yang diselenggarakan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok, Kamis (6/8).

Bona Beding dari Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus Lamalera menegaskan, masyarakat hukum adat, nelayan tradisional dan masyarakat pesisir tidak akan mungkin memperoleh HP3 dan hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan melalui kluster perikanan.

Abdul Halim, Koordinator Program KIARA, menegaskan HP3 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap, khususnya aturan terkait kluster perikanan adalah wujud nyata praktik ketidakadilan negara dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan.

Pengamat kelautan Hasyim Djalal juga menegaskan, pengelolaan kelautan jangan sampai merusak kesatuan bangsa. Laut, tegasnya, harus dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. “Laut seharusnya tidak dikapling, karena itu akan berbahaya bagi kesatuan kebangsaan dan kesatuan wilayah,” tegas Hasyim. n


Sumber: Sinar Harapan