Malam itu (Sabtu, 14 Nov 2015) saya jalan- jalan bareng ayut (Dodi, teman dari masa kuliyah) dari Lembang ke Alun-Alun kota Bandung. Sudah lama memang gak kesana, serasa banyak perubahan disekitar Alun-Alun. Mulai dari tatanan halaman Mesjid Raya Bandung yang enak buat santai karena bebas dari serakan sampah sampai merokokpun gak boleh di halaman mesjid. Sekitar halaman dikelilingi anak tangga dan kursi taman, serta halte panjang yang bertuliskan Alun- Alun menjadi tempat duduk sambil menikmati riuhnya kendaraan yang lewat.
Lain dari itu, perbedaan yang sangat menyolok kali ini dibandingkan beberapa waktu lalu saya kesitu adalah dengan adanya (ntah itu monumen/tugu) KAA yang isinya adalah nama- nama negara yang ikut dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) dan diatasnya ada globe. Cantik dan menakjubkan, patut memang kalau bandung menjadi salah satu destinasi orang berwisata.
Tapi dilain itu, pada saat saya keliling dan eksis untuk mengabadikan beberapa moment, ada sebuah tulisan yang membuat saya gelisah. Tulisan itu terpampang di dinding gapura/ gerbang yang ada di dekat monumen KAA tadi. Kalimat itu diungkapkan oleh M.A.W Brouwer.
Martinus Antonius Weselinus Brouweratau dikenal dengan M.A.W Brouwer(lahir 14 Mei 1923 – meninggal 19 Agustus 1991 pada umur 68 tahun) lahir di Delft dan meninggal di negeriBelanda adalah seorang fenomenolog, psikolog, budayawan yang sangat dikenal karena kolom-kolomnya yang tajam, sarkastik dan humoris di berbagai media masa di Indonesia terutama pada era tahun 70an sampai 80an. Brouwer menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Indonesia dan harus kembali ke negeri Belanda dan kemudian meninggal di sana oleh karena permohonannya untuk menjadiWarga Negara Indonesia tidak dikabulkan. Menamatkan sarjana pada Fakultas Paedagogi Universitas Indonesia pada tahun 1961 kemudian menjadi guru di Sukabumi serta sebagai pengajar di Fakultas PsikologiUniversitas Padjajaran dan Universitas Parahyangan yang turut mewarnai pengembangan ilmu Psikologi di Indonesia ( https://id.m.wikipedia.org/wiki/Martinus_Antonius_Weselinus_Brouwer).
Kalimat yang diungkapkan M.A.W Brouwer adalah "Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum". Saya akui memang kalau tanah Pasundan merupakan salah satu tempat yang subur dan indah, serta mojang- mojangnya yang cantik jelita. Tapi apakah pantas kita menyatakan "Kondisi Tuhan"? Kita tau darimana kalau Tuhan lagi tersenyum/ marah?
Maaf, bukan maksud hati tulisan ini untuk menyinggung orang Bandung/ Sunda pada umumnya. Mungkin saya yang tidak mengerti akan arti bahasa, atau bahasa yang dipakai terlalu dalam hingga pemikiran saya yang dangkal ini tidak bisa menembusnya. Semoga ada yang bisa menjelaskan...