Labuhan Haji tentang Aceh Selatan dengan Labuhan Hajinya, Prof. A. Hasyimi dalam makalah beliau seminar sejarah dan kebudayaan Aceh Selatan di Tapak Tuan, pada tanggal 5-16 Mei 1989, menulis beberapa kalimat berikut :
“Aceh Selatan yang merupakan salah satu wilayah politik di Daerah Istimewa Aceh sekarang ini, dalam bentuk daerah tingkat II, mempunyai kebudayaan yang beragam unsurnya, bukan saja dari unsur anak suku Aceh sendiri tetapi juga dari suku dan anak suku bangsa Indonesia luar Aceh”.
Selanjutnya beliau berkata :
“Aceh Selatan yang berbatasan dengan wilayah kekuasaan politik Islam Aceh langsung menguasainya, yaitu daerah pesisir barat Sumatra seperti Barus (Tapanuli Tengah sekarang), Natal (Tapanuli Selatan Sekarang), Pariaman (Minangkabau) dan Bengkulu, menyebabkan pintunya selalu terbuka untuk orang daerah-daerah tersebut dalam perjalannya menuju ibukota kerajaan, Banda Aceh Darussalam. Demikian pula, petugas kerajaan, pengusahadan para ilmuan harus melalui Aceh Selatan dalam perjalannya ke tempat tugas baru atau lapangan usaha baru di daerah-daerah pantai barat Sumatra tersebut. Karena itu Aceh Selatan merupakan jalur lalu lintas ramai yang selalu menjadi persinggahan para musafir. Kadang sebagian mereka kawin dengan puteri-puteri Aceh Selatan dan bermukim di sana”.
Apabila catatan sejarah menyatakan, bahwa kerajaan Aceh Darussalam telah membuka sebuah PELABUHAN HAJI di daerah Aceh Selatan, tempat pemberangkatan jama’ah haji yang berasal dari wilayah pantai Barat Sumatra (Labuhan Haji yang sekarang), maka tidaklah mengherankan bila ada pengaruh kebudayaan rakyat wilayah pantai barat Sumatra begitu besar di Aceh Selatan.
Selain sebagai cabang kesenian, juga ada pengaruh dalam bidang adat istiadat, atau katakanlah bahwa Islam pada anak suku Aceh Selatan telah menyerap berbagai unsur kebudayaan para pendatang, dari berbagai wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam, terutama sekali Minangkabau, Natal dan sebagainya untuk membuat kebudayaan Islam di Aceh Selatan menjadi pelangi budaya yang indah.
Lahirlah suatu bahasa baru, yang dinamakan bahasa ANEUK JAMEI (bahasa Tamu), yang sangat kentara dari logatnya bahwa yang terbanyak ialah dari bahasa Minangkabau. Selain itu juga logat bahasa Nias, Batak, dan lain-lain, mempengaruhi anak suku Aceh Selatan, seperti di pulau Banyak, Kluet, dan Singkil.
Bahasa Kluet sangat asing bagi orang Aceh lainnya, bahkan bagi orang Aceh Selatan sendiri, mungkin mempunyai dasar sendiri yang kemudian terpengaruh unsur-unsur sekelilingnya. Hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada jaman Kearajaan Aceh Darussalam banyak terjai perkawinan campuran antara orang Aceh Asli (yang juga campuran berbagai bahasa di dunia Minangkabau, Melayu, Sumara bagian Timur, Semenanjung Tanah Melayu, bahkan pantai Darussalam). Akibat dari perkawinan campuran itu, bukan saja kebudayaan Islam di tanah Aceh mempengaruhi kebudayaan mereka, tetapi juga kebudayaan wilayah-wilayah tersebut memperkaya kebudayaan Aceh, dan yang sangat besar pengaruhnya ialah kebudayaan pantai barat Sumatra, khususnya Minangkabau, terhadap kebudayaan Aceh di Aceh Selatan. Demikian Pak Hasymi.
Dari tulisan beliau di atas dapatlah dipahami, bahwa Labuhan Haji merupakan daerah terpenting di Aceh Selatan. Apalagi bila diingat fungsinya sebagai pelabuhan yang merupakan lalu lintas darat dan laut bagi umat yang berangkat dan kembali dari Tanah Suci, Mekkah ke Aceh Selatan, dapatlah dibayangkan bagaimana pentingnya pengaruh hal tersebut terhadap nilai-nilai Islam yang sangat cepat terserap dan berkembang bagi masyarakat sekitarnya. Itulah sebabnya maka kegiatan-kegiatan keagamaan bahkan kegiatan-kegiatan organisasi Islam baik dari Kaum Tua atau muda, asal mula perkembangannya tidak terlepas dari Kecamatan Labuhan Haji Aceh Selatan.