Tuesday, June 16, 2009

Krisis Ambalat dan Agenda Kelautan

Krisis Ambalat kembali mencuat ke permukaan, dipicu perbedaan persepsi antara Indonesia dan Malaysia. Dalam tiga tahun terakhir, terhitung sebanyak 100 kali tentara AL Malaysia memasuki wilayah perairan Ambalat.

Kepala Staf AL Marsekal Tedjo Edhy Purdjatno menyebutkan, sepanjang 2007 terjadi 76 kali pelanggaran, 2008 ada 23 kali pelanggaran, dan hingga 4 Juni 2009 telah terjadi 11 kali pelanggaran. Inilah rintangan negeri kelautan Indonesia.

Konferensi Kelautan Dunia (WOC) telah diselenggarakan di Manado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei lalu. Namun, upaya turut menuntaskan persoalan kelautan belum membuahkan hasil maksimal. Penyebabnya adalahdiingkarinya pembahasan atas substansi persoalan kelautan, tak terkecuali krisis Ambalat yang mengandaikan tiadanya kesepakatan menyangkut kawasan perairan perbatasan antarnegara. Di satu pihak, Indonesia mengacu pada Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/Unclos 1982). Di lain pihak, Malaysia bersikukuh pada peta yang disiapkannya tahun 1979.

Potret krisis di Ambalat merupakan sinyal agar Indonesia memberi perhatian lebih dalam penyelesaian sengketa di perbatasan, terlebih setelah dampak perubahan iklim semakin serius.

Pertama, dampak bawaan perubahan iklim, di antaranya tenggelamnya pulau-pulau kecil, berpotensi besar mengaburkan batas-batas wilayah laut suatu negara, tak terkecuali Indonesia. Nelayan tradisional makin kesulitan beradaptasi dengan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan berbatasan dengan banyak negara, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam, Australia, Palau, Timor Leste, Papua Niugini, dan India.

Kedua, budaya bahari yang turun-temurun telah membentuk peradaban perikanan nasional. Hal ini tampak dari kemampuan jelajah nelayan tradisional Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, yang mencapai wilayah perairan Australia. Atas dasar inilah Indonesia mesti memperjuangkan kedaulatan bangsanya dengan memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan tradisional, khususnya perlindungan terhadap wilayah perairan tradisional, seperti diatur dalam Unclos 1982, Artikel 51.

Meramaikan laut

Menurut laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan muka air laut setinggi 10 cm-25 cm. Diprediksi, tahun 2100 akan terjadi peningkatan muka air laut 15 cm-95 cm. Bagi Indonesia, sekitar 3.000 pulau kecil terancam tenggelam.

Pada konteks ini, bijak jika Pemerintah Indonesia mempertegas diplomasi ke publik internasional dengan memperjuangkan tiga pesan pokok Deklarasi Djuanda, yakni Pemerintah Indonesia perlu berupaya ekstra menjamin kedaulatan letak geo-ekonomi- politik bangsa; melindungi kesatuan kejiwaan, kenegaraan, dan kewilayahan seperti diasaskan founding fathers; serta melindungi keselamatan anak bangsa tanpa kecuali. Berdasar tiga pemikiran ini, pemahaman atas laut bukanlah sebagai ruang pemisah, melainkan pemersatu bangsa.

Politik industrialisasi konservasi bukanlah jalan mengatasi perubahan iklim. Apalagi, kondisi faktual konservasi laut seperti disuguhkan Prakarsa Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle Initiative-CTI) menunjukkan upaya melemahkan peran negara, setelah CTI menjadi kawasan administratif baru, meliputi enam negara kepulauan. Selama ini nelayan tradisional, masyarakat di pesisir di pulau-pulau kecil, telah dieksklusi dari ruang hidup dan ruang juangnya.

Terkait perubahan iklim, pemerintah patut melakukan tiga hal: pertama, menguatkan arah diplomasi perubahan iklim dengan mengoperasionalkan kesepakatan antarnegara sesuai Unclos 1982. Tidak hanya dalam konteks batas kewilayahan, tetapi juga inisiatif bilateral membangun konsensus antarbangsa terkait keberadaan perairan tradisional dan hak-hak nelayan yang melekat padanya.

Kedua, segera meninggalkan model kerja sama baik bilateral maupun multilateral perubahan iklim yang berisiko tinggi terhadap kedaulatan dan keselamatan warga. Misal, keinginan dini untuk menyewakan pulau-pulau kecil dalam tajuk proposal menampung pengungsi iklim ( climate refugee) atau tergesa-gesa mengundang hadirnya sejumlah kapal peneliti asing untuk melakukan penelitian di laut Indonesia baik terkait ”proyek iklim” maupun konservasi kelautan. Hal ini, selain bertentangan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia, khususnya Pasal 12, juga kontraproduktif dengan visi Deklarasi Djuanda 1957.

Ketiga, jelang pemilihan presiden 8 Juli, pilihan ekonomi kerakyatan berbasis kepulauan sudah semestinya menjadi tolok ukur penyelamatan komitmen nasional. Upaya ini dapat ditempuh dengan ”meramaikan” laut, setidaknya melalui optimalisasi peran pelabuhan dan transportasi laut, serta independensi pengembangan komoditas pangan antarpulau. Dengan ketiganya, semangat nasionalisme yang ramai berkumandang saat krisis Ambalat terjadi juga melahirkan tindakan konkret.

Sumber:
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2009/06/16/ 0447424/krisis. ambalat.dan. agenda.kelautan