Dalam rangka percepatan pengembangan industri pengolahan hasil perikanan di Indonesia melalui pengembangan usaha penangkapan ikan secara terpadu, Menteri Kelautan dan Perikanan merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.17/MEN/2006 menjadi Permen Nomor:PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Dalam revisi peraturan tersebut, pembangunan perikanan tangkap didorong untuk meningkatkan status Indonesia dari negara produsen bahan baku menjadi negara industri perikanan yang dapat menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Permen hasil revisi juga cenderung lebih bernuansa desentralisasi dengan diserahkannya kewenangan perpanjangan izin penangkapan ikan diatas 30 GT kepada Gubernur.
Sebelumnya, kehadiran Permen Nomor: PER.17/MEN/2006 telah berhasil mendorong peningkatan investasi usaha perikanan. Adanya revisi Permen diyakini dapat mempercepat upaya peningkatan investasi usaha perikanan sebagaiman salah satu tujuan lahirnya Permen ini. Upaya Pemerintah dapat dilakukan melalui meningkatkan ketersediaan prasarana pendukung, sedangkan investasi dari pihak swasta terutama untuk pengembangan industri perikanan tangkap, baik pada kegiatan hulu, proses produksi maupun kegiatan hilir. Berbagai kegiatan pembangunan perikanan tangkap dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan konsumsi, penerimaan devisa dan meningkatkan penyediaan bahan baku industri di dalam negeri.
Semangat Penyempurnaan
Permen No:PER.05/MEN/2008 memiliki beberapa materi muatan baru yang dilatarbelakangi semangat untuk penyempurnaan. Setidaknya ada sembilan materi tersebut yang mengalami penyempurnaan.
Pertama, mendorong peningkatan status Indonesia dari negara produsen bahan baku menjadi negara industri perikanan. Upaya ini dilakukan melalui beberapa upaya, antara lain: kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau pengangkut ikan untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan untuk diolah di Unit Pengolahan Ikan (UPI) dalam negeri; pelaku usaha yang diperbolehkan menggunakan atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing dengan cara sewa adalah mereka yang mempunyai UPI di dalam negeri; dan pengadaan kapal dari luar negeri hanya diperbolehkan bagi pelaku usaha yang mengolah ikan hasil tangkapan pada UPI di dalam negeri atau melakukan kemitraan dengan UPI di dalam negeri.
Kedua, mendorong pengembangan industri kapal dalam negeri yang dilakukan melalui pembatasan jumlah kapal pengadaan dari luar ne geri, pembatasan usia kapal bukan baru, pengadaan dari luar negeri, dan pengaturan jumlah kapal pengangkut ikan pengadaan dari luar negeri maksimum sebanding dengan kapasitas kapal penangkap ikan.
Ketiga, memiliki keberpihakan terhadap pelaku usaha perikanan dalam negeri melalui dilarangnya operasi kapal penangkap ikan berbendera asing, terhadap nelayan kecil yang menggunakan kapal berukuran 10 GT ke bawah dapat melakukan bongkar muat di sentra kegiatan nelayan, dan bagi kapal penangkap ikan berbendera Indonesia diperbolehkan melakukan penitipan ikan, meskipun dengan beberapa persyaratan.
Keempat, mengurangi atau meminimalisasi praktik Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing (IUU Fishing). Oleh karena itu dalam Permen hasil revisi ini diatur mengenai: kewajiban untuk melaporkan ikan hasil tangkapan yang tidak harus didaratkan kepada pengawas perikanan, pengurangan jumlah pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI atau SIKPI, kewajiban pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS) untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan sebagai persyaratan penerbitan izin, dan kewajiban menerima petugas pemantau perikanan di atas kapal perikanan (observer on board).
Kelima , percepatan proses perizinan usaha perikanan tangkap, jangka waktu pelayanan perizinan yang sebelumnya 11 hari kerja menjadi 10 hari kerja. Meskipun secara kuantitatif hanya berkurang satu hari, namun hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat pelayanan perizinan.
Keenam, memberikan kesempatan berusaha kepada pelaku usaha perikanan tangkap secara lebih adil, dilakukan pembatasan jangka waktu berlakunya SIUP yang sebelumnya berlaku selama perusahaan menjalankan usahanya, menjadi selama 30 tahun dan dapat diperpanjang. Hal ini berarti bahwa SIUP yang selama ini identik dengan ”pembagian alokasi”, tidak ”dikuasai” oleh pelaku usaha tertentu, akan tetapi dapat diberikan kepada pelaku usaha yang lain. Selain itu, jangka waktu realisasi SIUP juga dibatasi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi SIUP atau alokasi yang idle.
Ketujuh , memberdayakan asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap, dilakukan dengan memasukkan rekomendasi dari asosiasi atau organisasi di bidang perikanan tangkap sebagai salah satu syarat untuk memperoleh izin. Hal tersebut berarti bahwa keberadaan asosiasi atau organisasi tersebut sangat diperlukan sebagai mitra DKP dalam pembangunan perikanan.
Kedelapan, sebagai apresiasi pemerintah kepada pelaku usaha yang taat, khususnya dalam penyampaian laporan kegiatannya secara tertib, teratur, dan benar, maka terhadap pelaku usaha tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan kemudahan atau insentif dalam mengembangkan usahanya.
Sembilan, penegakan hukum yang lebih tegas dikenakan terhadap pelaku usaha yang ”nakal” yang antara lain: menggunakan dokumen palsu, menyampaikan data yang berbeda dengan fakta di lapangan, memindahtangankan atau memperjualbelikan izin, dan tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha atau sengaja memberikan laporan yang tidak benar.
Pasal Penting Revisi
Beberapa pasal penting dari revisi Permen Usaha Perikanan Tangkap ini diantaranya adalah:
(1) Pasal 16, yaitu kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dapat melakukan penitipan ikan ke kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan melalui kerjasama usaha;
(2) Pasal 17, yaitu ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan dan atau kapal pengangkut ikan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan yang tercatum dalam SIPI dan atau SIKPI kecuali ikan hidup, tuna untuk sashimi dan/atau ikan lainnya yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan; dan
(3) Pasal 41, yaitu usia kapal dengan pengadaan dari luar negeri tidak lebih dari 15 tahun kecuali dilakukan rekondisi.
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut diatas, Departemen Kelautan dan Perikanan telah menetapkan kebijakan baru untuk menghapuskan skim perijinan penangkapan ikan (licensing) bagi kapal berbendera asing. Untuk itu selanjutnya bagi kapal-kapal berbendera asing yang masih ingin melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah perairan ZEE Indonesia, wajib mendirikan usaha pengolahan ikan (land based industry) melalui pola investasi usaha perikanan tangkap terpadu yang berlokasi di Indonesia dengan mitra usaha perusahaan nasional (joint venture).
Usaha Perikanan Tangkap Terpadu
Investasi usaha perikanan tangkap terpadu adalah pengintegrasian investasi penangkapan ikan dengan industri pengolahan ikan. Setiap usaha penangkapan ikan harus diikuti oleh investasi industri pengolahan sehingga seluruh hasil tangkapan dapat diproses menjadi produk yang bernilai tambah tinggi dan memiliki kualitas ekspor. Berkembangnya industri pengolahan tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim yang kondusif, menggerakkan ekonomi lokal dan memperluas penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Dalam Permen No:PER.05/MEN/2008 ini terjadi penambahan pasal menjadi 99 pasal dari sebelumnya 83 pasal dan 20 bab. Selain itu, dalam revisi permen usaha perikanan tangkap tercantum pokok-pokok kegiatan dalam usaha penangkapan ikan meliputi antara lain: jenis usaha dan jenis perizinan, kegiatan penangkapan ikan, kegiatan pengangkutan ikan, kegiatan penangkapan dan kegiatan pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan, pendaratan ikan, kewenangan penerbitan perizinan, tata cara penerbitan perizinan usaha penangkapan ikan, masa berlaku perizinan, pengadaan kapal penangkap/pengangkut ikan, pemeriksaan fisik kapal, wilayah operasi pelabuhan, usaha penangkapan ikan terpadu, penggunaan tenaga kerja asing diatas kapal, penempatan petugas pemantau perikanan diatas kapal (observer on board), dan kewajiban kapal melakukan pemasangan transmiter/Vessel Monitoring System (VMS).***
Oleh: Yudi Heriawan, S.Pi yang diolah dari berbagai sumber