Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Pemerintah segera mengambil tindakan cepat, tepat dan menyeluruh dalam penanganan puluhan ton limbah minyak hitam yang berasal dari kapal tanker yang mencemari pesisir pantai di kawasan Tanjung Bemban, Kecamatan Batu Besar, Batam, Kepulauan Riau.
“Tumpahan minyak di perairan batam sudah berulang kali terjadi. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas dari pemerintah agar ada efek jera dari para pemilik kapal. Kalau penanganannya hanya membersihkan limbah minyak saja tentu akan berulang terus,” kata Carmelita Mamonto, Pengkampanye Pesisir dan Laut Walhi di Jakarta kepada beritabumi.or.id (21/1).
Carmelita Mamonto, mengatakan bahwa laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan mengakibatkan gangguan pada fungsi ekosistem pesisir laut. Organisme aquatik pantai seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan terganggu. Organisme yang tidak mampu menghindar dari wilayah tercemar akan mengalami akumulasi minyak dalam tubuhnya. Area bertelur ikan pun terganggu.
Tak hanya itu, berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma minyak sehingga mutunya akan menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan pergerakan massa air pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat.
“Bila tidak ditangani dengan segera, pencemaran limbah minyak ini akan membawa dampak kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsi ikan yang tercemar,” kata Mamonto.
Menurutnya, pencemaran laut oleh tumpahan minyak bukan hal baru lagi di Indonesia. Sejak tahun 2003 sampai tahun 2009, pencemaran minyak terjadi berulangkali di Kepulauan Seribu. Hal ini dikarenakan tidak adanya penanganan serius dari pemerintah. Masyarakat pesisir terutama nelayan terus menjadi korban atas ketidakseriusan Pemerintah dalam mengurus sumberdaya perairannya.
Untuk itu Walhi mendesak Pemerintah agar segera mengambil langkah tegas dalam penanganan pencemaran limbah minyak di perairan Batam. Keterlibatan berbagai instansi pemerintah sangat diperlukan untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut karena dampak tumpahan minyak sangatlah luas. Pemilik kapal wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak di laut yang bersumber dari kapalnya, seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden No.109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
“Kesungguhan Pemerintah dalam melindungi laut dan keberpihakan terhadap masyarakat harus menjadi titik tolak dalam penanganan pencemaran minyak di laut” kata Mamonto.
Sementara itu dalam diskusi bersama wartawan di Jakarta (21/1), Ilyas Arsyad, Deputi Bidang Penaatan Lingkungan Kementerian *Lingkungan Hidup *mengatakan bahwa pencemaran di kawasan perairan itu sudah terjadi dari tahun ke tahun. “Yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana agar di tahun-tahun depan tidak terjadi lagi,” kata Arsyad.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) sudah melakukan verifikasi data di lapangan. Pencemaran limbah di kawasan ZEE itu sebesar 20 ton lebih dengan luas 400 m2. Bersama pemerintah setempat, masyarakat dan LSM KLH telah melakukan upaya *clean up* sejak Senin lalu dan diharapkan akan selesai setelah 8 hari. KLH juga sudah menyusun kerjasama dengan TNI AL untuk mengatasi masalah pencemaran laut tersebut.
Dalam mengatasi berbagai macam masalah lingkungan hidup termasuk pencemaran, KLH juga telah menyempurnakan UU No. 23 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebelumnya yang mengandung multitafsir dengan pembangunan sistem melalui UU No. 32 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dengan bekerjasama dengan Mahkamah Agung, KLH melakukan peningkatan kemampuan hakim lingkungan hidup. Dalam hal ini hakim akan mendapatkan sertifikat lingkungan hidup dan mendapatkan kemampuan lebih mendalam tentang pelanggaran-pelanggaran terhadap lingkungan hidup.
Oleh: Ani Purwati