Friday, January 22, 2010

Pengertian dan Perkembangan Kultur Jaringan Tanaman

Kultur jaringan adalah suatu sistem pengembangbiakan tanaman dengan menggunakan bagian-bagian tanaman yang berukuran kecil sampai sangat kecil baik berupa organ, jaringan, maupun sel-sel tanaman dalam media buatan dengan kondisi yang aseptis secara in vitro, kemudian beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Berdasarkan bagian-bagian tanaman yang dikulturkan secara spesifik terdapat beberapa macam kultur:
  1. Kultur organ, yaitu kultur yang diinisiasi dari organ-organ tanaman seperti: pucuk terminal dan aksilar, meristem, daun, batang, ujung akar, bunga, buah muda, embrio, dan sebagainya.
  2. Kultur kalus, yaitu kultur sekumpulan sel yang tidak terorganisir, hanya sel-sel parenkim yang berasal dari bahan awal
  3. Kultur suspensi, yaitu kultur sel bebas atau agregat sel kecil dalam media cair. Pada umumnya kultur suspensi diinisiasi dari kalus.
  4. Kultur protoplas, yaitu kultur sel-sel muda yang diinisiasi dalam media cair yang dihilangkan dinding selnya. Kultur protoplas digunakan untuk hibrididasi somatik (fusi dua protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
  5. Kultur haploid (kultur mikrospora/ anther), yaitu kultur dari kepala sari (kultur anther) atau tepung sari (kultur mikrospora)
Perkembangan kultur jaringan dimulai dari pembuktian sifat totipotensi sel yang dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden (1838). Gothlieb Haberlandt (1902) seorang botanis yang dipandang sebagai pelopor kultur jaringan, mengemukakan hipotesis bahwa sel tanaman yang diisolasi dan dikondisikan pada lingkungan yang sesuai akan tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang lengkap. Folke dan Skoog pada 1940-an menemukan bahwa zat pengatur tumbuh auksin, yaitu IAA dan NAA yang sebelumnya diketahui dapat merangsang pertumbuhan akar, ternyata dapat merangsang pertumbuhan in-vitro tetapi menghambat pertumbuhan mata tunas. Pada 1951 Skoog dkk menemukan bahwa senyawa fosfat anorganik dan senyawa organik adenin atau adenosin dapat merangsang pertumbuhan mata tunas. Pada 1955 Carlos Miller dkk (juga bekerjasama dengan Skoog) menemukan kinetin, satu penemuan pertama hormon sitokinin. Pada 1957 Skoog dan Miller mempublikasikan penemuannya tentang hubungan antara sitokinin dan auksin dalam mengontrol pembentukan akar dan tunas dalam kultur jaringan tanaman. Tosshio Murashige dan Skoog (1962) mempublikasikan formulasi media MS yang sampai sekarang cocok untuk kultur jaringan banyak tanaman dan digunakan secara luas di laboratorium kultur jaringan di dunia. Penggunaan teknik kultur jaringan untuk memproduksi tanaman bebas virus bermula dari penemuan Morel dan Martin (1952) yang memperoleh tanaman dahlia bebas virus dengan mengkulturkan meristem pucuk tanaman yang terinfeksi virus.