Monday, April 21, 2014

ANDAI CUT NYAK DHIEN PEGANG PULPEN BUKAN PEGANG RENCONG

Sedikit mengkritik karena nurani sebagai darah Aceh masih belum bisa lepas. Disaat tanggal 21 April datang, miris hati saya untuk memperingati Hari Kartini. Sedangkan hari Cut Nyak Dhien dan Pahlawan wanita lainnya seperti Dewi Sartika dari Tanah Pasundan dan Martha Christina Tiahahu dari Maluku tidak diperingati? Padahal mereka sama-sama menaikkan martabat wanita? Apalagi Cut Nyak Dhien dan Martha Christina Tiahahu merupakan pejuang wanita yang dengan gagah berani terjun langsung ke medan pertempuran. 

Cut Nyak Dhien yang terkenal dengan ketegaran dan kepemimpinannya, tak pernah menyerah melawan Belanda bahkan ketika tentara-tentara Belanda membawa jasad suaminya
itu ke hadapannya, Cut Nyak Dhien, si perempuan tua
itu, menatap jasad tak bernyawa dengan nanar. Cut
Gambang, putri semata wayang, tak kuasa menahan
sedih dan pedih, ia merangkul jasad sang ayahanda
dengan isak tangis pilu.
Mata nanar perempuan tua itu tiba-tiba berubah tajam.
Ia menarik Cut Gambang yang tengah dirundung
sedih itu dan menamparnya – plak!: “Dengar!”
Bentaknya, “Sebagai perempuan Aceh, jangan
meneteskan air mata atas orang yang syahid!”
Namun setelah itu Cut Nya segera merangkul sang
putri. 

Tidak cuma itu, beliau juga tidak pernah ada kata menyerah walaupun sudah terkepung dan terpojok, dan beliau juga tidak kendur semangatnya untuk tetap melawan Belanda meski umurnya sudah renta. Hal ini terbukti saat serdadu belanda hendak meringkusnya tapi Cut Nyak masih berusaha manyabetkan rencongnya kearah Capt. Valtmen walaupun gagal karena kondisinya yang sudah sangat lemah. 

Tapi sayang, Cut Nyak Dhien saat itu tidak punya pulpen untuk bertulis surat dan berteman dengan Belanda melainkan dia hanya punya rencong untuk terus melawan penjajah bangsanya. Makanya sampai sekarang tidak ada memperingati HARI CUT NYAK DHIEN yang ada HARI KARTINI karena Ibu Kita Kartini punya pulpen untuk berkomunikasi dengan para penjajah.