Sunday, December 22, 2019

Kisah Kitab Ad-Durrun Nafis Karangan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari Yang Kontroversial

Kitab Ad Durrun Nafis yang dikarang sang Pujangga Islam, sekaligus Ulama Sufi kelahiran tanah Banjar yang bermakam di Bumi Sarabakawa atau tepatnya di Desa Binturu Kecamatan Kelua, yakni Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjari memang masih jadi kontroversi dikalangan Ulama Ahlussunnah. Karena dianggap sebagai kitab yang padat dan kadang-kadang pelik dan sulit dalam Ilmu Tauhid Ahlussunnah wal Jamaah yang teranyam dengan Ilmu Tasawwuf. 

Dari data yang didapat, di Kalimantan Selatan khususnya Tabalong, terdapat tiga kelompok bersikap pro dan kontra dalam menerima, mempelajari dan menolak ajaran yang termuat di kitab yang sangat kental nuansa Tasawwuf tersebut. 

Pertama, kelompok yang berpendapat setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya, karena kitab Ad Durrun Nafis mempunyai kedudukan sama dengan kitab Tasawwuf pada umumnya. Sesuai ajaran Islam, maka jangan dirahasiakan apalagi sampai melarang. 

Lalu pendapat kedua, yakni kelompok yang menganggap Kitab Ad Durrun Nafis tidak sejalan dengan dengan ajaran mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah, dan tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, serta dianggap mengandung paham Jabariah, Wahdatul Wujud, Hulul dan Filsafat yang sesat. Selain itu banyak ditemukan Ta’arudh (kontradiksi) dan Khatha (kesalahan) yang tidak dapat dita’wilkan. 

Dan kelompok ketiga berpendapat ajaran dikitab tersebut diperbolehkan, namun hanya untuk kalangan orang tertentu saja atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Yaitu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pengarang (Syekh Nafis) dalam kitabnya “Bahwa hanya Ulama yang tinggi ilmu pengetahuan agamanya sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka isi kitab itu tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang atau tidak kuat landasan ilmu agama serta keimanan,”. 

Nah, terlepas dari kontek tiga pendapat kelompok tersebut, ternyata dalam beberapa kutipan manakib atau biografi Syekh Nafis juga disebutkan bahwa Kitab Ad Durrun Nafis pada jaman penjajahan sempat dipropoganda pengharaman oleh pihak Belanda dengan menggaet beberapa Ulama yang tidak sepaham dengan ajaran kitab tersebut, sehingga diaturlah fatwa Ulama yang melarang membaca kitab tersebut. 

Pendapat bijaksana juga turut dilontarkan salah seorang Ulama Kalsel yang termuat dalam kutipan kata sambutan Alm KH Idham Chalid pada buku Permata Yang Indah (Kitab Ad Durrun Nafis yang di Bahasa Indonesiakan) oleh KH Haderanie. KH Idham Chalid menganggap bahwa kitab yang dikarang oleh Syekh Nafis pada tahun 1200 H di Mekkah Almukarramah tersebut, yakni selain memang berharga sebagai tambahan pembendaharaan Ilmu dalam bahasa Indonesia. ”Juga berarti melestarikan karya Pujangga Islam Indonesia yang telah beratus tahun mendahului kita,” kata Alm KH Idham Chalid. (Paseban-jati.blogspot.com) 

Kitab Ad-Durrun Nafis Pengarangnya tak Sepopuler Kitabnya 

Kitab “Ad Durrun nafis” sangat populer bagi penuntut ilmu, terlebih bagi peminat tasawuf. Kitab ini tersebar tidak saja di Indonesia, tapi juga ke manca negara, dan dialih-bahasakan ke berbagai bahasa di dunia. 

Kitab tipis berbahasa asli melayu dengan tulisan arab (arab melayu) itu memuat inti ajaran tasawuf syar’iyyin yang mempelajari tentang af’al (perbuatan), Asma (nama), Sifat, dan Zat Tuhan. 

Kitab ini sering dipelajari oleh orang-orang yang sudah dewasa dan cukup ilmu dasar: tauhid dan fiqih. Bagi yang belum cukup ilmu dasar, biasanya tidak diperkenankan mempelajari kitab yang satu ini. 

Selain itu, guru yang mengajarkan kitab ini pun bukanlah guru sembarangan. Sehingga tidak tersalah memberikan pemahaman. (apahabar.com)