Wednesday, December 25, 2019

Buya Hamka; Sang Adik Yang Pendeta

Awka “bertukar kiblat” pada 1983, dua tahun setelah Hamka wafat. Sepanjang hidupnya, Hamka telah terpatri sebagai sosok ulama besar yang gigih membela Islam dan sangat tegas dalam hal akidah, tanpa kompromi. “Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada  manapun!” tegas Buya Hamka setelah dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975 (Artawijaya, Hidayatullah, 2 Juli 2013). 

Buya Hamka adalah Ketua MUI pertama, juga dikenal sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah. Dirinyalah orang yang menetapkan fatwa haram bagi umat Islam terkait perayaan Natal bersama. Pada 19 Mei 1981, Hamka meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI karena merasa ditekan oleh menteri agama waktu itu, Alamsyah Ratu Perwiranegara. Ia memilih mundur ketimbang harus menganulir fatwa tersebut. 

Sembilan tahun sebelumnya, ketika Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia pada Desember 1970, Hamka berkata tegas kepada Presiden Soeharto bahwa ia menolak menghadiri pertemuan dengan pemimpin Vatikan tersebut. "Bagaimana saya bisa bersilaturahmi sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?" tukasnya kala itu. Dan nantinya, Awka, adik kesayangannya Buya Hamka itu, menjadi seorang pendeta. 

Melawat ke Barat 
Awka dan sang kakak, Hamka, terlahir dari keluarga yang keislamannya sangat kuat di ranah Minang. Ayah mereka, Muhammad Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang ulama besar dan merupakan salah satu orang Indonesia paling awal yang mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir, pencapaian yang kelak diraih pula oleh Buya Hamka. 

Ayahanda Hamka dan Awka juga seorang pejuang nasional. Ketika sang ayah diasingkan ke Sukabumi, Jawa Barat, pada 8 Agustus 1941 lantaran dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, Awka turut serta. Begitu pula saat ayahnya dipindah ke Jakarta seiring berkuasanya Jepang ke Indonesia, Awka juga ikut. Sementara Hamka, yang 19 tahun lebih tua darinya, sudah merantau ke mana-mana sejak usia belia. 

Tanggal 2 Juni 1945, Haji Abdul Karim Amrullah wafat di pangkuan Awka. “Saya mengucapkan kalimat syahadat sebagai kata penghabisan dari saya untuk melepasnya (sang ayah),” tulis Awka dalam otobiografinya, Dari Subuh Hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran (2011:32). 

Beberapa tahun setelah sang ayah mangkat, Awka bertekad berdiaspora ke mancanegara. Awal 1949, ia ikut kapal MS Willem Ruys yang berangkat dari Tanjung Priok menuju Rotterdam. Awka bekerja sebagai tukang binatu di kapal Belanda itu. Setibanya di Belanda, Awka tidak menetap, melainkan turut berlayar ke banyak tempat di belahan dunia lainnya. Dari Amerika Selatan, kemudian ke Afrika, hingga akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di San Francisco, California, Amerika Serikat. 

Disinilah pada 1952 Awka dikunjungi oleh sang kakak yang sudah cukup lama terpisah. Hamka sengaja datang ke Amerika untuk membantu adiknya mencari pekerjaan dan akhirnya diterima di Indonesia Supply Mission di New York kemudian di Konsulat RI yang berlokasi di San Francisco. 

Mengislamkan dan Dikristenkan 
Awka—yang di negeri rantau memakai nama Willy Amrull—sempat jatuh cinta pada seorang perempuan jelita bernama Sawitri. Namun, kasihnya tak pernah sampai karena ayahanda sang pujaan hati, Ali Sastroamijoyo yang tidak lain adalah Duta Besar RI untuk Amerika, tidak merestui. 

Usai patah hati, Awka kemudian menikah dengan wanita asli Amerika yang usianya lebih tua darinya dan sudah memiliki 4 orang anak, pada 1957. Namun, perkawinan ini hanya 5 tahun saja bertahan. 

Di Amerika Serikat, Willy Amrull menyibukkan diri dengan menggagas Ikatan Masyarakat Indonesia (IM) di California pada 1962 selain aktif pula dalam kegiatan Islamic Center di Los Angeles. 

Tahun 1970, Awka kawin lagi. Kali ini dengan seorang gadis blasteran Amerika-Indonesia, Vera Ellen George, yang bersedia masuk Islam demi menjalani bahtera rumah tangga dengan Awka. Mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Rehana Soetidja dan Sutan Ibrahim yang lahir di Amerika, serta Siti Hindun yang lahir belakangan di Bali. 

Awka memang memboyong keluarganya ke Indonesia pada 1977. Namun, ia tak pulang ke kampung halamannya di Maninjau, Sumatera Barat, melainkan ke Pulau Dewata tempat di mana Awka saat itu bekerja. Dari sinilah prahara itu dimulai. Vera ingin kembali memeluk agama asalnya, Kristen. Awka pun diajaknya serta. 

Semula Awka menolak mentah-mentah karena latar belakang keislamannya yang sangat kuat. Namun, akhirnya ia luluh demi keutuhan rumah tangga dan ketiga buah hati mereka. Tahun 1981, Awka sekeluarga pindah ke Jakarta, dan tiga tahun berselang, ia dibaptis oleh Pendeta Gerard Pinkston di Kebayoran Baru (Willy Amrull, 2013:141). 

Di tahun yang sama, 1983, Awka kembali ke Amerika Serikat. Tak lama kemudian, ia ditetapkan sebagai pendeta oleh Gereja Pekabaran Injil Indonesia (GPII) di California. Sejak saat itu, Awka dikenal dengan nama Pendeta Willy Amrull. 

Misionaris di Kampung Sendiri 
Sebagai seorang pendeta, salah satu kewajiban utama Willy Amrull adalah menyebarkan ajaran agamanya. Dan misi itulah yang didapat Willy dari lembaga misionaris Kristen di Amerika. Pada 1996, ia ditugaskan untuk melakukan syiar agama di kampung halamannya, Sumatera Barat. 

Tentunya Awka alias Willy tidak langsung memperkenalkan diri sebagai misionaris. Mula-mula, ia mengaku sebagai pengusaha dan bekerja untuk Kedutaan RI di Amerika Serikat. Willy memakai nama samaran Badru Amrullah. 

Misinya berjalan lancar berkat Yanuardi Koto, Ketua Persekutuan Kristen Sumatera Barat (PKSB), yang berasal dari Lubuk Basung (Bakhtiar, Ranah Minang di Tengah Cengkeraman Kristenisasi, 2009:153). Yanuardi Koto juga seorang pendeta Gereja Protestan Indonesia Barat (Majalah Gamma, 1999:63). 

Oleh Yanuardi Koto, Willy diangkat sebagai pembina PKSB dan mereka berhasil merekrut anak-anak muda Minang, terutama dari kalangan ekonomi lemah, untuk dikristenkan—kegiatan yang membikin Buya Hamka menolak bertemu Paus Paulus VI pada 1970. 

Awka atau Pendeta Willy Amrull menyebut proses pengkristenan tersebut dengan istilah “pemuridan”. Ia menjelaskan cukup lengkap tentang berbagai tekniknya dalam buku otobiografinya (Willy Amrull, 2013:190). 

Tahun 1998, Yanuardi Koto tersangkut kasus. Ia dituding terlibat dalam perkara penculikan gadis 17 tahun bernama Khairiah Enniswah (Wawah). Beberapa sumber menyebut siswi Madrasah Aliyah Negeri 2 Padang ini dijebak dan dikristenkan secara paksa, termasuk dalam buku karya Deliar Noer, Islam & Politik (2003:154). 

Nama Pendeta Willy Amrull juga disangkut-pautkan dalam peristiwa itu. Namun, hingga kasusnya disidangkan di Padang, keberadaan Willy tidak diketahui. Ia rupanya sudah kembali ke Amerika. 

Willy mencurigai bahwa perkara Wawah sengaja digunakan untuk menjebaknya, sehingga ia buru-buru menghilangkan jejak. Sebagai klarifikasi, ia menghubungi sejumlah instansi internasional kendati babak akhirnya tetap saja mengambang. 

Sejak terjadinya kasus Wawah di tanah kelahirannya itu, Pendeta Willy Amrull atau Abdul Wadud Karim Amrullah alias Awka tidak pernah pulang lagi ke Indonesia hingga meninggal dunia di California pada 25 Maret 2012, tepat tujuh tahun yang lalu.

Sumber: Tirto.id