Tuesday, July 21, 2009

KLUSTER PERIKANAN, Adu Kambing Versus Harimau?

Rencana Departemen Kelautan dan Perikanan mengapling perairan untuk kegiatan usaha penangkapan ikan masih menuai kontroversi. Dikhawatirkan, rencana itu akan membenturkan kepentingan nelayan dengan pengusaha perikanan skala besar. BM Lukita G

Pengelolaan perikanan dengan sistem kluster dilandasi Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Pasal 74. Kluster perikanan ditetapkan berdasarkan batas koordinat daerah penangkapan ikan.

Dalam Pasal 74 Permen No 5/2008 diamanatkan bahwa usaha perikanan tangkap berbasis kluster harus memerhatikan kepentingan nelayan lokal setempat dan nelayan yang telah mengantongi surat izin penangkapan ikan pada areal tangkapan tertentu. Selain itu, keterpaduan kegiatan usaha penangkapan ikan berbasis kluster dengan unit pengolahan ikan pada wilayah tertentu.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Dedi Sutisna menjelaskan, gagasan zonasi perikanan tangkap akan diberlakukan pada 11 wilayah pengelolaan perikanan. Cakupannya mulai dari tepi pantai hingga melampaui batas 12 mil perairan atau zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Kluster penangkapan ikan itu memberi hak eksklusif kepada pihak tertentu untuk mengelola kawasan tangkap. Ada beberapa model pengelolaan kluster yang kini sedang dikaji, antara lain, pengelola kluster terdiri dari nelayan dengan armada inti berkapasitas kapal di atas 30 gross ton (GT) sebanyak 75 persen dan armada lokal dengan kapasitas di bawah 30 GT sekitar 25 persen.

Nelayan dan armada lokal dapat membentuk konsorsium untuk ikut mengelola kluster. ”Nelayan tradisional dan pengusaha besar ditempatkan dalam posisi yang setara,” ujar Dedi.

Sistem kluster perikanan tangkap mengingatkan pada program serupa yang kini juga masih digodok oleh petinggi DKP, yakni hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). HP3 mengamanatkan zonasi pemanfaatan perairan untuk kegiatan usaha perikanan tangkap dan budidaya.

HP3 memberikan peluang bagi privatisasi sumber daya pesisir selama 20 tahun dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. Saat digulirkan tahun 2008, program HP3 juga menuai protes dari sejumlah kalangan.

Kebijakan yang memungkinkan pengalihan hak pengelolaan pesisir berpotensi menimbulkan pemusatan hak pengusahaan pesisir ke pemodal kuat. HP3 juga dikhawatirkan membuka celah bagi penguasaan pesisir oleh segelintir pemilik modal dan tidak mampu melindungi nelayan.

Sudirman Saad, Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, menyatakan, pemerintah akan menerbitkan aturan rinci soal HP3 tahun ini. Aturan itu, antara lain, ketentuan zonasi perairan akan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan jaminan perlindungan hak nelayan tradisional.

Namun, ia tidak menampik adanya potensi tumpang tindih antara kebijakan HP3 dan kluster perikanan tangkap. Penyebabnya, koordinasi internal departemen untuk pengelolaan kawasan perairan hingga kini belum optimal.

”HP3 akan diterapkan dalam batas perairan 12 mil. Oleh karena itu, kluster perikanan tangkap idealnya berada di luar 12 mil agar tidak tumpang tindih dengan HP3,” ujar Sudirman.

Pertanyaan yang muncul kemudian, sejauh mana program kluster penangkapan ikan menjamin akses dan posisi tawar nelayan tradisional dalam pengelolaan kluster?

Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan tahun 2006 merilis, hampir seluruh perairan Indonesia telah mengalami tingkat eksploitasi sumber daya perikanan yang melebihi ambang batas dan berlebih. Nelayan tradisional khawatir, pembentukan kluster memicu perebutan lahan penangkapan ikan antara nelayan kecil dan pengusaha besar.

Nelayan terdesak

Di Kabupaten Kepulauan Aru, hasil tangkapan nelayan kecil sejak tahun 2007 terus menurun seiring ekspansi kapal-kapal milik perusahaan besar.

Nety Letlora dari Yayasan Sita Kena yang mendampingi 48 kelompok nelayan di Aru, mengungkapkan, nelayan kian terpinggirkan oleh kehadiran banyaknya kapal penangkap ikan milik perusahaan besar.

Tahun lalu, nelayan-nelayan tradisional mengejar kapal-kapal besar yang masuk ke wilayah tangkap nelayan tradisional.

Sejak tahun 1990, peralatan tangkap nelayan tradisional di Laut Arafura nyaris tidak mengalami perubahan, yakni motor tempel, alat tangkap jaring tarik tangan, dan pancing. Teknologi sederhana itu sulit bersaing dengan peralatan pengusaha besar.

”Jika ada pengklusteran Laut Arafura, semakin banyak kapal yang beroperasi dan berebut ikan dengan nelayan tradisional. Nelayan tradisional hanya akan menjadi penonton,” ujar Nety.

Minimnya penerimaan negara dari sektor kelautan dan perikanan menunjukkan ada yang salah urus di negeri bahari dengan potensi perikanan yang luar biasa ini. Perairan Indonesia memiliki sebanyak 7,5 persen atau 6,4 juta ton per tahun dari potensi lestari ikan dunia.

Faktanya, usaha perikanan tangkap yang didominasi hampir 90 persen oleh nelayan kecil dan tradisional hingga kini belum didorong menjadi penyangga industri perikanan nasional.

Kebijakan pengelolaan laut bahkan kerap tidak memperhitungkan kearifan lokal dan wilayah ulayat nelayan tradisional.

Kebijakan kluster penangkapan ikan yang membagi laut dalam kapling-kapling sejatinya mempertimbangkan faktor sosial dan historis masyarakat pesisir dan nelayan tradisional secara arif.

Perlindungan hak penangkapan tradisional dan penguatan organisasi nelayan menjadi keharusan. Kita tidak menginginkan kluster perikanan tangkap akan berujung ”seperti kambing melawan harimau”. (ANG)


Sumber: Kiara