Fadel Muhammad geram bukan kepalang. Setidaknya 28 daerah emoh menghapus retribusi nelayan. Padahal ia sudah mengedarkan instruksi sejak 16 November 2009. Bekas Gubernur Gorontalo itu mengancam akan menghukum para pembangkang.“ Kalau keinginan kami untuk mengurangi beban rakyat kecil tidak dibantu, bisa saja saya mengurangi dana alokasi khusus (DAK) perikanan untuk daerah itu,”kata Fadel awal Januari lalu.
Penghapusan retribusi nelayan memang merupakan salah satu program prioritas 100 hari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ia pimpin. Prioritas itu diarahkan pada “pengembangan minapolitan”, termasuk memangkas pungutan. Dukungan lain dilakukan lewat peningkatan produksi dan pembenahan perizinan kapal perikanan.
Dari Semarang bergaung suara sumbang.“ Kebijakan (penghapusan pungutan) ini hanya penyejuk bagi nelayan, yang sulit diimplementasikan,” kata Kepala Program dan Advokasi Layar Nusantara, Sukarman, pertengahan Januari silam. Ia juga menilai kebijakan itu menunjukkan ketidakseriusan pemerintah. Buktinya, kata dia, tergambar dari draf aturan tempat pelelangan ikan yang keukeuh mempertahankan pungutan 5 persen.
Penolakan itu diduga akibat pemerintah setempat masih menjadikan retribusi sebagai tumpuan.Tapi, kata Fadel, penghapusan pungutan mestinya tak membuat kantong daerah remuk. Sebab, retribusi yang diperoleh paling banter Rp 400 juta. Sedangkan kucuran fulus Kementerian kepada satu daerah ada yang mencapai Rp 2,3 miliar. Hingga kini, baru 19 gubernur dan 44 bupati serta wali kota yang merespons surat tersebut.
Wakil Ketua Komisi Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Perikanan Dewan Perwakilan Rakyat Firman Soebagyo menilai program Menteri Kelautan hanya mengukur indikasi anggaran, bukan indikasi keberhasilan.“ Ukurannya sederhana, apakah penghasilan nelayan meningkat atau mengecil. Ataukah problem nelayan berkurang. Sekarang problem nelayan bertambah,”ucap dia.
Dia enggan menilai rapor sang menteri. Namun Firman menyebutkan, konsep yang diajukan Fadel terbilang bagus. Masalahnya, bila tidak didukung kinerja eselon I dan II, konsep tersebut tak berguna.“Kalau pelaksananya tak mau menjalankan instruksi Menteri, ya, konsep tak jalan,”ujar Firman.
Sumber: Tempo